“Kyai, maafkanlah saya yang telah memfitnah pak kyai dan ajarkan saya sesuatu yang bisa menghapus kesalahan saya ini.” Aku berusaha menjaga lisanku, tak ingin sedikitpun menyebarkan kebohongan dan menyinggung perasaan kyai.
Kyai Husain terkekeh. “Apa kau serius?” Katanya.
Aku menganggukkan kepalaku dengan penuh keyakinan. “Saya serius, Kyai. Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya.”
Kyai Husain diam beberapa saat, ia berfikir. Aku bayangkan doa yang akan diajarkan Kyai Husain padaku, yang jika aku membacanya beberapa kali maka Allah akan mengampuni dosa2ku. Aku bayangkan laku, atau tirakat, atau apa saja yang bisa menebus kesalahan dan menghapuskan dosa2ku. Lalu Kyai Husain mengucapkan sesuatu yang benar2 di luar perkiraanku. Di luar perkiraanku
“Apakah kau punya kemoceng di rumahmu?”
Aku benar2 heran Kyai Husain justru menanyakan sesuatu yang tidak relevan untuk permintaanku tadi.
“Maaf, Kyai?” Aku berusaha memperjelas maksud kyai Husain.
Kyai Husain tertawa, seperti kyai Husain yang biasanya. Diujung tawanya, ia sedikit terbatuk.
Sambil meng-angguk2kan kepalanya, “Ya, temukanlah sebuah kemoceng di rumahmu,” katanya.
Tampaknya Kyai Husain benar-benar serius dengan permintaannya.
“Ya, saya punya sebuah kemoceng di rumah, Kiai. Apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?”
Kyai Husain tersenyum. “Besok pagi, berjalanlah dari rumahmu ke pondokku,” katanya,
“Berjalanlah sambil mencabuti bulu2 dari kemoceng itu. Setiap kali kau mencabut sehelai bulu, ingat2 perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kau lalui.”
Aku mengangguk. Aku tak membantah. Mungkin maksud kyai agar aku merenungkan kesalahan2ku. Dengan menjatuhkan bulu2nya satu per satu, maka kesalahan2 itu gugur diterbangkan waktu
“Kau akan belajar sesuatu” kata kyai. Ada senyum terkembang di wajahku. Keesokannya, aku temui Kyai dengan kemoceng yang tak ada bulu pada gagangnya. Aku segera menyerahkan gagang kemoceng ke beliau. “Ini, Kyai, bulu2 kemoceng ini dijatuhkan satu per satu di perjalanan. Saya jalan lebih dari 5 km dari rumah ke pondok ini. Saya ingat semua perkataan buruk saya tentang Kiai.
Saya hitung betapa luasnya fitnah2 saya tentang Kiai yang sudah saya sebarkan pada banyak orang. Maafkan saya, kyai. Maafkan saya”. Kyai meng-angguk2 senyum. Ada kehangatan kurasakan dari raut mukanya. “Seperti kukatakan kemarin, aku sudah memaafkanmu. Barangkali kau khilaf dan hanya tahu sedikit tentangku. Tetapi kau harus belajar seusat” katanya.
Aku terdiam mendengar perkataan Kyai Husain yang lembut, menyejukkan hatiku.
“Kini pulanglah” kata Kyai Husain. Aku akan beranjak pamit dan mencium tangannya, tapi Kiai melanjutkan kalimatnya, “Pulanglah kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kau ke pondokku tadi”
Aku terkejut mendengarkan permintaan kyai Husain kali ini, apalagi mendengarkan “syarat” berikutnya: “Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu2 kemoceng yang tadi kaucabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang bisa kau kumpulkan.”
Aku terdiam. Aku tak mungkin menolak permintaan Kyai Husain.
“Kau akan mempelajari sesuatu dari semua ini,” tutup Kyai Husain.
***
Sepanjang perjalanan pulang, aku berusaha menemukan bulu2 kemoceng yang tadi kulepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan melelahkan. Betapa sulit menemukan bulu2 itu karena tertiup angin, atau menempel di kendaraan yang menuju kota yang jauh, atau tersapu ke mana saja ke tempat yang kini tak mungkin aku ketahui.
Tapi aku harus menemukannya. Aku harus terus mencari ke tiap sudut jalanan, ke gang2 sempit, ke mana saja. Aku terus berjalan. Setelah ber-jam2, aku berdiri di depan rumahku dengan pakaian yang ber keringat. Nafasku berat. Tenggorokanku kering. Di tanganku, kugenggam lima helai bulu kemoceng yang berhasil kutemukan di sepanjang perjalanan.
Hari sudah menjelang petang. Dari ratusan yang kucabuti dan kujatuhkan dalam perjalanan pergi, hanya 5 helai berhasil kutemukan dan kupungut lagi di perjalanan pulang. Ya, hanya lima helai. Lima helai.
***
Hari berikutnya aku menemui Kyai Husain dengan murung. Aku menyerahkan lima helai bulu kemoceng itu pada Kyai Husain. “Ini, Kyai, hanya ini yang berhasil saya temukan.” Aku membuka genggaman tanganku dan menyodorkannya pada Kyai Husain.
Kyai Husain terkekeh. “Kini kau telah belajar sesuatu,”katanya.
Aku mengernyitkan dahiku. “Apa yang telah aku pelajari, Kyai?” Aku benar-benar tak mengerti.
“Tentang fitnah-fitnah itu,” jawab kyai Husain.
Tiba-tiba aku tersentak. Dadaku berdebar. Kepalaku mulai berkeringat.
“Bulu2 yang kaucabuti dan kaujatuhkan sepanjang perjalanan itu fitnah2 yang kausebar. Meski kau benar2 menyesali perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah2 itu jadi bulu2 yang beterbangan entah kemana. Bulu2 itu kata2mu. Mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin bisa kau duga, ke wilayah2 yang tak mungkin bisa kauhitung!”
Tiba-tiba aku menggigil mendengarkan kata-kata Kiai Husain. Seolah-olah ada tabrakan pesawat yang paling dahsyat di dalam kepalaku. Seolah-olah ada hujan mata pisau yang menghujam jantungku. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Aku ingin mencabut lidahku sendiri.
“Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri… Barangkali kau akan berusaha meluruskannya, karena kau benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kau tak tak ingin mendengarnya lagi”.
“Tetapi kau tak bisa menghentikan semua. Kata2mu yang terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kendalimu, tak bisa kau bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kau kubur dalam-dalam sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya.”
“Fitnah2 itu jadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada ujungnya. Agama menyebutnya dosa jariyah. Dosa yang terus berjalan diluar kendali pelaku pertamanya. Maka tentang fitnah2 itu, meski aku atau siapapun yang kau fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah2 itu terus mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung dari semuanya”.
“Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi. Maka kau tak bisa menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak.”
Tangisku benar2 pecah. Aku tersungkur di lantai. “Astagfirulloh hal-adzhim… Astagfirullohal-adzhim…
Astagfirulloh hal-adzhim…” Aku hanya bisa terus mengulangi istighfar. Dadaku gemuruh. Air mata menderas dari kedua ujung mataku.
“Ajari saya apa saja untuk membunuh fitnah-fitnah itu, Kyai. Ajari saya! Ajari saya! Astagfirulloohal-adzhim…” Aku terus menangis menyesali apa yang telah aku perbuat.
Kyai Husain tertunduk. Beliau tampak meneteskan air matanya.“ Aku telah memaafkanmu setulus hatiku, Nak,” katanya, “Kini, aku hanya bisa mendoakanmu agar Allah mengampunimu, mengampuni kita semua. Kita harus percaya bahwa Allah, dengan kasih sayangnya, adalah zat yang maha terus menerus menerima taubat manusia… Innallooha tawwaabur-rahiim…”
Aku disambar halilintar jutaan megawatt yang mengguncangkan batinku! Aku ingin mengucapkan sejuta atau semiliar istighar untuk semua yang sudah kulakukan! Aku ingin membacakan doa-doa apa saja untuk menghentikan fitnah-fitnah itu!
“Kini kau telah belajar sesuatu,” kata Kyai Husain, setengah berbisik. Pipinya masih basah oleh air mata.
Demikianlah, anakku, fitnah itu kejam. Lebih kejam daripada pembunuhan.
Sumber : www.wattpad.com/407493144-i-k-i-inspiratif-kreatif-inovatif-kemoceng