help

Hampir delapan tahun aku menikahi Menik, anak pasangan Pak Sukoco dengan Ibu Murtiningsih (semuanya nama samaran), yang tak lain adalah mertuaku. Setelah membina rumah tangga sekian lama kami baru dikaruniai momongan, seorang bayi mungil dan cantik yang kuberi nama Syafira.

Aku beri nama Syafira semata karena kebahagiaan kutelah diberi “permata hati” oleh Sang Maha Pencipta yang lama kami nanti. Lengkaplah rasanya kebahagiaan kami. Namun kebagiaan itu terusik oleh hal yang semula tak kami percayai. Bahkan aku baru pertama kali mendengarnya.

Sejak saat itu, perjalanan keluarga kami dilalui dengan penuh was-was.Aku sengaja menyembunyikan ini dari isteri, sebab aku tak ingin isteriku mengetahuinya karena beberapa pertimbangan.

Dan rasa was-was penuh ketakutan itu timbul ketika aku mendapat “petunjuk” dari seorang yang mengerti ilmu gaib, yang mengatakan bahwa anakku Syafira berada dalam ancaman teror yang sangat menakutkan dari sosok iblis.

“Teror tu dilakukan oleh salah seorarng leluhurmu yang masih hidup. Anak ke sayanganmu itu tepatnya akan dijadikar korban wadal persekutuan gaib,” demikian kata orang yang baru kukenal itu.

Awal mulanya, hal itu kuketahui dari sebuah pertemuan tak sengaja dengan seorang bapak-bapak yang bernama Ilham disebuah Mall terbesar yang ada di Kota Depok.Jawa Barat. Usia Syafira saat itu setahun sembilan bulan dan sedang lucu-Iucunya.

Kami saat itu sedang menemani anak kami bermain mandi bola. Saat aku mengawasi anakku dari kejauhan, kulihat ada seorang bapak-bapak sedang memperhatikan anakku dengan komat-kamit.

Matanya senantiasa menatap anakku penuh perhatian. Ketika aku akan menegor orang itu, justru dialah yang mendekatiku. Awal mulanya aku curiga padanya, tapi setelah kami ngobrol-ngobrol, rupanya Pak Ilham itu nampak cukup baik dan ramah.

Diajuga sedang menemani cucunya.Tak lama kamipun mulai akrab. Setelah obrolan kami menyangkut anak, nampak ia seperti sangat serius. Pak liham banyak bertanya tentang Syafira, dan aku sangat terkejut, karena dia tahu banyak tentang kebiasaan anakku. Dan dengan terus terang Ia sangat mengkhawatirkan anakku. Betapa kagetnya aku, ada apa dengan Syafira.

“Jaga anakmu dengan baik. Jangan sampai dia jatuh ke tangan iblis laknat itu.”

Aku terkejut bukan kepalang mendengar penuturannya walau hanya sekedar dugaan. Rasa takut, was-was, penasaran dan seribu satu rasa menyesak dalam dadaku.

Menurut Pak liham, anakku tengah menjadi incaran pembunuhan yang dilakukan oleh siluman akibat persekutuan gaib yang dilakukan oleh keluarga dekatku, yang erat pertalian darahnya dan masih hidup. Syafira tepatnya akan dijadikan tumbal.

Walau aku belum percaya sepenuhnya, tapi tak urung membuatku takut. Terlintas pula pemikiran curiga akan semua keterangannya. “Jangan-jangan ini modus penipuan yang ujung-ujungnya uang,” batinku. Tapi hal ini tertepis ketika ia tahu semua kebiasaan juga benda-benda yang disukai Syafira.

Kebiasaan itu antara lain Pak liham tahu bila anakku sering kepanasan dan sering minta mandi, walaupun malam hari sekalipun. Juga tanda bercak putih sejak lahir sebesar kuku di tengkuk dan telinga Syafira. Menurutnya itu sebagian tanda bahwa Syafira akan diambil tumbal oleh si iblis Iaknat.

Pak Ilham juga menanyakan apakah ada keluargaku atau Syafira yang memiliki ciri mirip seperti itu. Setelah kupikir sejenak, aku jadi ingat mertuaku, Pak Sukoco. Dia memiliki tanda seperti itu. Tapi belang putih mertuaku itu cukup banyak hampir menutupi separo mukanya, leher serta kedua telapak tangannya.

“Sebenarnya apa hubungan tanda itu dengan anakku, Pak?” tanyaku.

Pak llham tersenyum. Ia hanya diam sambil manggut-manggut dihiasi sorot matanya yang penuh rahasia. Pertanyaan itupun benar benar tak terjawab, sebab cucu Pak liham merengek minta pulang.

Sebelum kami berpamitan, ia minta namaku dan nama isteriku, nama nenek dan kakeknya Syafira (mertuaku) serta tanggal Iahirnya. Tak lupa Ia memberikan alamat rumahnya agar aku datang ke rumah nya.

“Jangan lupa datang ke rumahku. Nyawa anakmu benar-benar sangat terancam,” pesannya kepadaku sebelum kami berpisah.

 ******************

Karena didera rasa was-was, akhirnya aku berkunjung ke rumah Pak Ilham. Rumah Pak Ilham cukup sederhana dan keluarganya nampak ramah. Dilihat dan cara hidupnya nampak keluarga Pak liham sangat taat dalam agama.

Hal ini tergambar dari banyaknya hiasan dan tulisan ayat-ayat suci Al Qur’an di dinding rumahnya. Juga terlihat dari kehalusan tutur kata keluarganya.

Setelah kami beramah tamah sejenak, diajaknya aku ke ruangan khusus yang banyak peralatan doa dan sholat. Di kamar itu tanpa tedeng aling-aling Pak liham membeberkan semua dugaannya. Beliau mengatakan bahwa semalam ia mendapat petunjuk bahwa benar Syafira dalam ancaman maut.

“Ancaman maut itu berasal dari siluman kura-kura raksasa yang dipuja oleh leluhur Syafira untuk meraih kekayaan dengan cara memberikan tumbal nyawa manusia,” jelas Pak Iham.

Beliau tidak mengatakan siapa, tapi hati kecilku menduga-duga dan aku mencurigai mertuaku, Pak Sukoco.

Aku baru menyadari sekaligus heran karena mertuaku cukup kaya untuk ukuran desa, padahal aku tahu mertuaku tak memiliki pekerjaan yang jelas. Yang aku tahu mertuaku adalah sebagai makelar tanah, dan sesungguhnya itu bisa diukur penghasilannya di desa.

Memang, aku pernah mendengar desas-desus bahwa mertuaku memiliki pesugihan jenis Tuyul. Tapi Menik, isteriku sendiri membantahnya. Katanya, itu hanya fitnah orang kampung yang iri dan jangan digubris. “Begitulah kehidupan di desa. Kalau ada yang maju pasti dicurigai macam- macam,” tegas isteriku.

Sebelum menikah, aku memang tak tahu betul kehidupan keluarga isteriku. Kami bertemu di Jakarta. Setelah menikah, kami .hanya setahun sekali pulang kampung. Karena itu aku tak tahu banyak keluarganya selain dari keterangan Menik sendiri.

Dan belang putih di tubuh mertuaku itu, selama ini aku kira hanya akibat pengaruh zat Mercury pada air tanah bertahun lamanya yang bersifat medis.

“Saya ingin menolongmu, juga anakmu, karena saya tak tega pada anak tak berdosa. Syafira, anakmu tidak seharusnya menjadi tumbal,” kata Pak Ilham.

Beliau terus terang mengatakan pula bahwa ia tak sanggup sendirian membentengi Syafira, maka dia akan datang ke Tuban, Jawa Timur. Di sana tempat kediaman gurunya, dan aku diajak serta ke Tuban.

Tapi sebelum itu kami melaksanakan permintaannya, aku disuruh mengambil air telaga yang konon menjadi tempat berdiamnya siluman kura-kura itu untuk dibawa kepadanya. Aku juga sekaligus ditugaskan mencari keterangan agar tindakannya benar.

Hari itu, sebelum aku mohon pamit, aku diberinya sebuah botol yang didalamnya terdapat gulungan kain putih..

“Tanamlah botol ini di halaman rumahmu,” pinta Pak Ilham.

“Baiklah, Pak!” ujarku sambil mencium tangannya sebagai tanda hormat dan takzim.

Aku pun mulai melakukan penyelidikan tentang mertuaku. Aku mohon pamit pada Menik dengan alasan akan keluar kota dalam rangka RUPS perusahaan tempatku bekerja selama seminggu.

Aku terpaksa berbohong pada isteriku dengan harapan dia tak mengetahui rencanaku.Karena ini me nyangkut keluarganya.

Sesungguhnya aku pergi ke Jawa Tengah ke sebuah tempat menurut petunjuk Pak llham, beda kabupaten dengan asal isteriku. Di sana aku menemukan banyak keterangan. Memang, di sebuah tempat terdapat telaga keramat yang sering diziarahi orang dengan berbagai maksud, termasuk mencari pesugihan.

Tempat itu bernama Telaga Bulus Jimbung, berikut ciri-ciri orang yang melakukan ritual sesat itu. Aku juga jadi tahu tempat-tempat kerarnat lain seperti Gunung Pegat, Rawa Jombor yang tak jauh dari Desa Jimbung dan tak kalah keramat. Pokoknya aku banyak mendapat informasi seputar dunia mistik di tempat itu.

Konon, menurut keterangan warga, siapapun yang datang ke Bulus Jimbung untuk tujuan mencari kekayaan, berhasil atau tidak, pasti badannya belang. Dan yang menjadi tumbal adalah pelaku itu sendiri atau sesuai perjanjian.

Entahlah, aku seperti mendengar cerita takhayul yang memang selama ini tak kupercayai. Tapi didorong oleh ketakutan akan keselamatan Syafira, aku mulai mempercayainya.

Setelah ke Bulus Jimbung, aku menyempatkan mampir ke rumah mertuaku selama tiga malam dan menginap di sana. Kepada mertuaku aku mengatakan alasan yang sama dengan isteriku dan aku hanya sekedar mampir. Padahal aku ingin menyelidiki mertuaku.

Memang benar, di rumah itu kurasakan hawa aneh menyungkup. Bahkan aku sempat mengalami hal-hal ganjil yang sulit kujelaskan semua. Aku juga sempat mendengar rintihan Pak Sukoco di suatu malam.  Rintihan itu bersumber dari kamarnya yang gelap, tapi tak tahu sedang apa. Setahuku mertuaku itu sehat-sehat saja.

Kini aku makin yakin di rumah mertuaku banyak menyimpan rahasia mistis yang sulit dicerna akal sehatku.  Sêtelah kudapatkan sebotol air dari telaga keramat itu akhirnya aku kembali ke Jakarta, menemui Pak Ilham. Dan setelah itu segera kami putuskan untuk berangkat ke Tuban.

Aku dan Pak liham tiba di Tuban pukul dua siang. Setelah menumpang ojek cukup jauh, tibalah kami di sebuah rumah sederhana milik seorang Kyai sepuh guru Pak Ilham yang tak bisa kami sebutkan namanya atas permintaan Pak Ilham.

Guru Pak llham itu ternyata seorang lelaki renta, namun nampak religius dan senantiasa berwirid. Tasbih kecil tak lepas dari tangan kanannya, serta mulutnya senantiasa komat-kamit memuji kebesaran illahi.

Saat malam tiba, kami mulai melakukan ritual. Kami bertiga berada di kamar gelap dan melakukan beberapa sholat khusus serta pembacaan doa-doa. Setelah itu aku diminta Pak Kyai terus menerus membaca sholawat serta memejamkan mata.

Kini aku hanya mendengar helaan nafas, suara gedebukan serta desiran dan geraman menakutkan, diselingi bentakan bentakan, juga hawa panas seperti terpanggang api.

Setelah lampu teplok dinyalakan oleh Pak Ilham, aku terkejut, guru Pak liham itu sudah tak ada di dalam kamar. Dia pergi entah kemana.

Saat kutanyakan, Pak Ilham hanya tersenyum dan segera mengemasi barang-barang. Beliau segera mengajakku pulang ke Jakarta tengah malam itu juga. Aku ingin bertanya banyak, namun dengan isyarat tertentu aku dimintanya diam.

Dengan sekendi air kami segera kembali ke Jakarta. Pada mulanya kesulitan mendapatkan angkutan umum. Setelah kami berjalan sejauh kurang lebih tiga kilo meter akhirnya kami mendapatkan mobil yang kami sewa ke Jakarta.

Kami pulang tanpa berhenti, karena hal itu dilarang oleh Pak llham walau hanya sekedar buang air kecil sekalipun. Di perjalanan itulah Pak liham menjelaskan semuanya.

“Memang benar mertuamu itu bersekutu dengan siluman kura-kura Bulus Jimbung. Dan yang menjadi tumbalnya adalah mertuamu sendiri, dan satu orang setiap generasinya. Hal itu disepakati dengan siluman itu agar kekayaannya langgeng hingga ke anak cucunya kelak,” jelas Pak liham.

Kini, aku jadi teringat akan kematian adik iparku yang mati ketika usianya baru beberapa tahun. Dan kematiannya sangat misterius. Adik iparku juga memiliki bercak putih di wajahnya.  Kini aku jadi teringat Syafira, aku hampir menangis. Aku berdoa dengan air mata menetes agar mobil cepat tiba di Jakarta, aku sungguh takut.

Menurut Pak llham, ia dan gurunya hanya sekedar berusaha memutus perjanjian gaib antara Pak Sukoco dengan siluman kura-kura itu agar tak terjadi tumbal berikutnya. Dan lenyapnya sosok gurunya itu berhubungan dengan usahanya demi keselamatan Syafina serta generasi berikutnya.

Mari kita berdoa untuk keselamatan guru saya, semoga Allah melindungi kita semua,” pinta Pak IIham.

Oh Tuhan, kini aku benar-benar menyadari betapa mulianya hati Pak llham dan gurunya itu. Entah dengan apa aku bisa membalasnya.

Setiba di Jakarta, aku betul-betul panik. Ternyata Syafira sakit panas tinggi sekali. Sudah ke dokter, tapi obat dokter seperti tak ada pengaruhnya. Syafira menggigil hebat serta mengigau “Fira ingin pulang, Pa!” rintihnya berulang-ulang. Hatiku makin miris.

Tak menunggu lebih lama aku mengambil sedikit air kendi dan sisanya kami siramkan ke sekujur tubuh Syafira. Saat disiram Syafira menjerit yang suaranya baru kali ini ku dengar, seperti bukan suara Syafira, sedangkan Pak llham terus membaca doa.

Setelah itu Syafira tertidur dan panasnya berangsur-angsur turun. Belum genap seminggu atas kesembuhan Syafira, aku mendengar khabar kematian Pak Sukoco, mertuaku.

Aku dan Menik terpaksa pulang kampung, tapi Syafira sengaja tak kuajak meski isteriku protes. Hal ini memang dilarang oleh Pak liham.

Saat jenazah mertuaku dimandikan, kulihat keganjilan di tubuh mertuaku. Selain badannya belang, juga di punggungnya terdapat sisik tebal mirip kulit buaya memanjang hampir ke pinggul. Terbukti sudah, mertuaku adalah pengabdi siluman Bulus Jimbung.

Menurut Pak Ilham, kematian mertuaku terjadi karena siluman Kura-kura itu murka tak mendapat tumbalnya sehingga memakan tuannya sendiri.

Sejak kematian Pak Sukoco, tak lama kemudian sedikit demi sedikit kekayaannya habis sama sekali, bahkan ibu mertuaku kini harus ikut dengan kami.

Kini, Syafira telah tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik jelita. Permata hatiku tumpuan harapan masa depan kami berdua.

Belang ditengkuk dan telinganya pun telah hilang. Dan kebiasaan anehnya yang sering minta mandi tengah malam pun sudah tak ada lagi.

Terima kasih Ya Allah SWT.(misteri)

Sumber :  duniaparalel.com

2 thoughts on “MELINDUNGI ANAKKU YANG JADI TUMBAL PESUGIHAN MERTUAKU”
  1. selamat pagi , apakah saya bisa meminta kontak pak ilham ini? kebetulan saya & keluarga saya sekiranya mengalami hal yg serupa. terima kasih sebelumnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *