CECAK 1

Spiderman, si manusia laba-laba memang hanya ada dalam film. Tapi manusia merayap di tembok seperti cecak bukan sekadar imajinasi. Ia ada di tengah-tengah kita. Ini bukan sulap juga bukan sihir. Manusia cecak itu memang nyata. Dialah Tito, Pewaris ilmu tingkat tinggi dari kakeknya, seorang penasehat kraton Mataram. Dalam salah satu fase kehidupannya, sang manusia cecak itu merayap di tembok. Tito menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di Bogor, Jawa Barat. Berikut petikannya.

    Tengah malam itu, udara dingin sekali. Semburan angin menembus pakaian tipis yang melekat di badan. Pakaian seragam sekolah SMP itu tidak kuat menahan dinginnya malam. Hawa dingin terus menjalar dan menyusup ke dalam tulang. Saya berdiri tegak di lereng gunung Merapi. Diterpa semilir angin yang terus meningkat.

    Malam itu, entah mengapa saya meninggalkan teman-teman yang meringkuk di dalam tenda perkemahan. Di balik selimut dan sarung yang melindungi tulang dari dinginnya malam. Saya memisahkan diri dan melangkah tanpa tujuan.

     Yang saya tahu, ada kekuatan tersembunyi yang menuntun saya ke tempat itu. Di atas sebidang tanah yang sedikit terbuka.  Kilau bintang di angkasa sedikit memberikan pendar cahaya di tempat saya berdiri.

     Sementara itu nyanyian binatang malam menjadi iringan musik penyejuk jiwa. Tak ada getar ketakutan di dalam hati. Meski saya berdiri sendirian di tempat itu.  Diterpa semilir angin yang membuyarkan lamunan atas keberadaan saya di tempat itu.

    Namun, semilir angin perlahan berubah. Angin itu semakin keras dan kencang menerpa badan yang kurus itu. Dari jauh, dari puncak gunung Merapi, seberkas cahaya memecah kegelapan. Indah warnanya.

   Warna merah keunguan bercampur kuning itu melesat. Ia berlomba dengan hembusan angin yang tidak kalah cepatnya. Saya terkesima. Cahaya itu meluncur ke arah saya berdiri. Dan ‘seeett’ cahaya itu masuk ke dalam badan saya, sebelum saya sempat menghindar.
   Hening. Sekian menit angin seakan berhenti bertiup. Sebelum akhirnya keributan memecahkan keheningan malam itu. Puluhan ekor monyet berlompatan, tepat ke arah saya berdiri. Entah dari mana mereka datang.
   Aneh, monyet-monyet itu tidak menyerang. Ada yang terus berlompatan dan menggaruk-garuk kepalanya. Ada pula yang langsung duduk bersila di depan saya. Laksana punggawa kerajaan yang sembah sungkem di depan seorang raja.
   Belum hilang keanehan itu, ragam hewan dan burung gunung Merapi yang indah warnanya segera berbaur. Jumlahnya puluhan. Hewan-hewan itu seakan menyambut kedatangan saya di gunung Merapi ini.
   Sungguh menyenangkan. Peristiwa malam itu masih tergambar dalam ingatan, meski telah berlalu belasan tahun. Sejatinya, saya heran mengapa saya mengalami peristiwa itu. Bertahun-tahun lamanya saya menyimpan rahasia itu.
   Hingga akhirnya peristiwa demi peristiwa kembali bermunculan.  Semua itu diawali oleh mimpi, dua tahun setelah peristiwa di gunung Merapi malam itu. Saya bertemu dengan seorang kakek berjubah putih di pendopo sebuah rumah tua. Dindingnya terbuat dari batu lama dan kayu hitam.
    Kakek dengan rambut yang memutih itu berdiri di sebuah mimbar, sementara saya bersimpuh tidak seberapa jauh darinya. “Kamu harus menolong orang. Hilangkan sifat iri dan benci. Kamu saya beri kitab ini dan jangan sampai keluar. Karena itu lakukan yang lima,” ujar kakek.
   Suaranya yang berwibawa membuat saya diam terpaku. Duduk bersila dan tidak berani menatap wajahnya. Saya tidak bergerak, seandainya seekor burung hinggap di atas kepala saya niscaya burung itu tidak akan terbang.
   “Kamu adalah titisan Wisnumurti,” lanjut kakek tersebut. Ia kemudian memberikan sebilah tombak kekuningan. Dari tangannya tombak itu melayang dan masuk ke dalam dada saya. Saya terpekik. Untung, itu hanya sebuah mimpi, pikir saya.
   Tapi tak urung keringat dingin pun bercucuran. Saya terbangun dengan membawa beban pikiran. Kata-kata kakek itu tidak sepenuhnya saya pahami. Siapakah Wisnumurti itu? Apakah lima perbuatan yang harus saya lakukan? Lalu mengapa kakek itu melarang saya keluar? Lalu keluar darimana?Sederetan pertanyaan yang mengganggu hari-hari saya. Sejak itu, saya mulai terbiasa begadang. Namun, apa yang saya lakukan tidak lazim dilakukan oleh pemuda lima belasan tahun. Bila teman-teman senang bergerombol. Kesana kemari selalu bersama. Sebaliknya, saya lebih senang menyendiri.Sejatinya semua itu saya lakukan begitu saja. Saya hanya menuruti kata hati saya. (Dua tahun lalu, saya baru sadar bahwa semedi itu bertepatan dengan malam Selasa Kliwon, Jum’at Kliwon atau malam Selasa Legi) Dari jam dua belas malam sampai jam empat pagi, saya sering bersemedi di tepi sungai yang terletak tak jauh dari desa.Seorang diri saya bersemedi. Mengheningkan cipta dan larut dalam suasana malam yang sepi. Di malam yang lain, batin saya menuntun saya untuk berdiri di atas bangunan dua tingkat. Di sana di atas genteng saya kembali bersemedi. Tanpa ada yang membimbing, dari bibir saya meluncur mantra-mantra. Satu kenyataan yang baru saya ketahui.Dua tahun yang lalu bahwa mantra-mantra itu berbahasa Arab, meski tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Dimulai dengan ta’awudz dan basmalah lalu istighfar tiga kali. Selanjutnya saya melafalkan asyhadu alla ilaaha illallah, allahumma shalli ala Muhammad laa haula walaa quwwata illa billah tiga kali. Kemudian mengucapkan innalillahi wainna ilaihi raaji’un tiga kali.

Terakhir saya membaca ya Allah ya Abdul jabbar, dan dilanjutkan dengan bacaan ya huu dzatullah, ya huu fakratullah, Ya huu wujudullah, ya huu birahmatillah Sambil melafalkan mantra, saya membayangkan alam ciptaan Allah. Satu persatu makhluk Allah berkelebat.

Di alam bawah sadar. Bayangan itu terus menguasai jiwa saya. Dalam waktu bersamaan, angin berhembus kencang, menghempaskan pepohonan bergoyang ke kiri dan ke kanan. Laksana tarian adat yang kian lama kian cepat. Detik-detik berikutnya, saya melihat seberkas cahaya. Saat itulah ada energi yang masuk ke dalam badan saya.

Badan saya menggelembung seakan melayang. Kekuatan spiritual menemukan lahan yang subur saat saya dipertemukan dengan tokoh-tokoh spiritual dari berbagai aliran. Mulai yang kental dengan nuansa kejawennya, hingga yang dipanggil dengan kyai. Dari mereka saya banyak mendapatkan wejangan-wejangan dan aliran energi.

Semedi Pengundang Mantra

Semenjak itu, mulai ada saja tamu yang datang. Ada yang minta kenaikan pangkat. Ada juga oknum aparat keamanan yang minta benteng dan kekuatan. Ada juga yang minta disembuhkan. Seperti yang terjadi di suatu malam. Pintu rumah saya diketok berkali-kali.

Dengan tergopoh-gopoh saya membuka pintu. Seorang lelaki paruh baya berdiri di depan pintu dengan wajah pucat. “Pak, sss… Saya minta air putih! Iii…ssstri saya sakit,” katanya terbata-bata. Akhirnya saya beri air putih dengan mantra-mantra tertentu.

Saya heran, bagaimana saya bisa merapal mantra-mantra itu, sedangkan satu penyakit dngan penyakit lainnya berbeda mantra. Padahal tidak seorang pun yang mengajarkan mantra-mantra tersebut. Semuanya terucap begitu saja. Biasanya untuk bekal tentara yang mau berperang, saya memberinya air kembang setaman.

Air itu harus dipakai. Satu demi satu pasien mulai berdatangan. Padahal saya tidak pernah bilang kepada siapapun, bila memiliki kemampuan linuwih. Semuanya mengalir begitu saja. Ketiga paman saya yang ikut bertarung dalam pemilihan kepala desa pun tidak luput meminta restu kepada saya.

Ketiganya datang ke rumah saya. “Sopo sing nerimo wahyu ya iku sing dadi. Aku isane cuma mbantu songko mbruri (Siapa yang dapat wahyu itu yang akan jadi (kepala desa). Saya hanya bisa membantu dari belakang),” kata saya kepada mereka. Masing-masing saya beri air putih. “Tolong diisi bunga melati. Isinya tujuh yang gadingnya putih. Diminum saat buka puasa.” Saya katakan demikian, karena empat puluh hari sebelum pemilihan saya menyuruh mereka berpuasa.

Selain itu saya juga memberi syarat-syarat maupun pantangan-pantangannya. Mereka menerima saran saya, meski pada akhirnya hanya satu orang yang akan menjadi kepala desa. Bagi mereka tidak menjadi masalah, asal telah mendapat restu dari saya.

Berita kemampuan linuwih saya semakin tersebar. Guru, tetangga, kerabat maupun teman-teman menaruh hormat. Tidak peduli berapapun usia mereka. Mulai dari anak-anak hingga nenek-nenek mereka rela sungkem kepada saya. Ketika saya tanyakan alasannya, mereka hanya mengatakan bahwa ilmu saya lebih tua dari ilmu mereka.

Waktu terus berjalan. Hari berganti minggu, bulan berganti tahun. Tak terasa sudah tiga tahun saya bersemedi. Namun, semuanya masih terus berlanjut. Selepas SMA, hasrat dalam jiwa untuk bersemedi dan berpuasa kian membara. Keinginan untuk berpuasa itu datang begitu saja. Tanpa ada pertimbangan ini dan itu.

Namun, dua tahun yang lalu Saya baru tersadar bahwa keinginan berpuasa itu biasanya jatuh pada hari Rabu Pon, Kamis Wage, Jum’at Kliwon, atau puasa 40 hari di bulan Syuro. Katanya, itu adalah hari-hari yang baik buat lelakon. Pada kenyataannya, setelah melakukan puasa tiga hari atau 40 hari biasanya saya mendapatkan mantra-mantra baru.

Didahului dengan kabut asap, lalu seberkas cahaya masuk ke dalam tubuh saya. Seperti datangnya mantra Bolosewu. “Bismillahirrahmannirrahim, ya ihmali, ya rahmati, ya Allahu, ya a’budu, ya rahim, ya haqqul yaqin.” Dibaca tujuh kali. Langsung dibaca begini, “Sopo sing ngadeg ono ing ngarep, sopo kang jejejer ono ing mburiku, sun kongkon lebonono jagad dumadiku, lebonono guwo garbaku…(Siapa yang berdiri di depan saya. Siapa yang berbaris di belakang saya. Saya perintahkan kalian masuk ke jasad saya…”

Mantra Bolosewu dan Cecak Ijo. Kedua mantra itu, saya dapatkan setelah berpuasa 40 hari di bulan Syuro. Tepat jam 2 malam, seperti biasa saat bersemedi di tepi sungai. Mantra Cecak Ijo saya dapatkan setelah mendatangkan kekuatan dari segala penjuru.

Dimulai dari menghadap ke timur, terus menghadap selatan, barat, dan utara lalu berdiri di tengah jagad. Di tengah jagad itulah, katanya, seluruh kekuatan dari penjuru mata angin itu bersatu. Saat itulah meluncur mantra Cecak Ijo begitu saja. “Sing nguasani jagad wetan, teko marang aku. …teko asih-asih marang ingsun. ingsun kang madep ono ing tengahing jagad. (Yang menguasai jagad timur, datanglah kepada saya… Saya yang berdiri di tengah jagad. yang menguasai jagad selatan, datanglah kepada saya…Saya yang berdiri di tengah jagad). Sampai dengan barat lalu utara.
Kemudian, saya berdiri tegak, “Saya yang menguasai tengahing jagad. Ngadeg onoing tengahing jagad. Siro kabeh tekoo…..Nyawiji manunggal marang badan ingsun. (Saya yang menguasai tengah jagad. Semuanya datanglah kemari… menyatulah ke dalam jasad saya)” itulah mantra Cecak Ijo yang terasa berat.
Kedua mantra itu kemudian diperkuat dengan mimpi bertemu dengan kakek dua kali. Saya memang tidak pernah bertemu dengan kakek, tapi dari cerita nenek dan ibu, saya percaya bahwa yang datang dalam mimpi itu adalah kakek. Perawakannya sedang dengan badan yang kekar dan kencang. Ia berambut panjang. Celananya hitam dan bajunya hitam. Dengan ikat kepala yang menambah keperkasaannya.
Dalam mimpi itu, kakek memberi saya sebilah keris. Warnanya kuning. “Saya titisannya Wisnumurti. Kamu harus mau menerima keris ini,” kata kakek. Mulanya, saya tidak mau. Saya sudah berusaha melarikan diri, tapi tetap dipaksa menguasai keris itu. “Harus kamu terima,” paksa kakek.
Dengan berat hati, keris kuning itu saya biarkan masuk ke dalam dada saya. Sejak menerima mantra Bolosewu dan Cecak Ijo, terjadi perubahan yang mendasar dalam diri saya. Saya yang dulunya terkenal sebagai pemuda yang sopan dan kalem, mulai berubah. Muncul sifat sombong dan ingin dihormati.
Rasanya dalam diri selalu muncul hawa amarah yang siap meledak setiap saat. Sebenarnya, saya ingin mendedikasikan kemampuan yang saya miliki demi bangsa dan negara. Untuk itu saya ikut pendaftaran di akademi militer. Namun, Allah masih belum mengabulkan keinginan saya.
Tiga kali tes di Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Kepolisian, saya selalu gagal di babak akhir. Akhirnya saya memilih bergabung dengan perusahaan pelayaran. Berbagai Negara telah saya kunjungi. Singapura, Australia, maupun Jepang. Kesempatan berada di tengah laut tidak saya sia-siakan.
Saya kembali menggelar semedi di sela-sela waktu senggang di atas ruang kontrol. Di dek paling atas. Mantra kunci, Bolosewu maupun Cicak Ijo selalu saya rapal. Berbagai kekuatan laut pun masuk ke dalam diri saya. Sama seperti dulu, ketika masih semedi di tepi sungai.
Atau di atap genting. Biasanya diawali dengan gelegar suara guntur. Kemudian saya merasakan aliran energi yang masuk ke dalam tubuh saya. Dunia pelayaran kian memperkokoh amarah. Bila sudah mendarat, perasaan ingin berkelahi sulit terhindarkan. Lantaran itu, setelah setahun berlayar saya putuskan untuk mengundurkan diri.
Saya bertekad untuk mencari kerja di darat, agar bisa kembali menata diri. Agar hawa amarah yang tak terbendung itu bisa tertahankan. Saya memilih Jakarta sebagai tempat berlabuh. Berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Anehnya, untuk melamar sebagai karyawan, saya merasa begitu mudah. Hanya melalui telpon, saya bisa langsung diterima. Padahal saya tidak memiliki orang dalam yang bisa membantu.
Jin Yang Takluk Berubah Wujud Menjadi Benda
Setelah bertugas sebagai satuan pengaman, saya mulai menata diri kembali. Selepas Maghrib hingga Isya’ saya tidak pernah mengikuti apel. Kesempatan itu saya manfaatkan untuk bersemedi. Tentu dengan merapal kembali mantra-mantra dulu. Saya mulai dikenal sebagai ahli pengobatan alternatif.
Meski sejujurnya saya tidak menginginkannya. Mereka datang begitu saja. Tanpa saya undang. Suatu ketika, seorang tetangga rumah sejak jam empat pagi mengamuk. Ia mengaung seperti macan. Nyaris setiap orang yang mendekat mendapat cakaran. Sudah banyak orang pintar yang dipanggil, tapi semuanya menyerah.
Mereka mendapat hadiah cakaran. Waktu saya datang, saya lambaikan tangan untuk memanggilnya. “Kesini kamu! Kamu mau ikut saya atau berubah wujud menjadi sebuah benda?” Tanya saya. “Kalau ikut saya datanglah! Mau ke Yogya di kedaton, atau ke kantor di ruangan saya silahkan”.
“Pergilah setelah membaca syahadat!” Bentak saya. Tetangga yang kerasukan jin macan itu pun mengucapkan syahadat. Dan langsung tersadar. Ketika saya pulang ke rumah di sore harinya, saya menemukan sebilah keris kecil dengan goresan loreng-loreng putih. Keris itu tergeletak di dalam sebuah panci berisi air bunga.
Panci yang saya persiapkan untuk jin-jin yang tunduk dan mau berubah wujud menjadi benda. Perubahan wujud ini biasa diistilahkan dengan maujud. Ada yang berupa cincin, keris atau benda-benda lainnya. Sejak tiga tahun yang lalu, dalam pertemuan Kasepuhan di Jawa, saya selalu mendapat tugas untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul di antara anggota.
Kasepuhan merupakan sarana pertemuan Paguyuban, Padepokan maupun perguruan-perguruan yang ada di Jawa. Di ajang Kasepuhan inilah mereka mendiskusikan berbagai masalah yang terkait dengan perguruan-perguruan mereka. Dalam pertemuan ini, saya selalu ditunjuk untuk menyelesaikan masalah yang ada. Meski umur saya baru dua puluhan tahun, sementara anggota yang lain banyak yang jauh lebih tua daripada saya, namun itu tidak menjadi kendala.
“Romo Anom saja yang menyelesaikan. Begitulah kata mereka. Secara usia memang saya lebih muda, tapi mereka menganggap bahwa ilmu yang saya dalami selama ini lebih tua daripada mereka. Penghormatan senada juga saya dapatkan dari beberapa ajengan (kyai) di Bogor.
Biasanya saat shalat Jum’at, saya mengenakan jarik dan jubah putih, lengkap dengan sorbannya. Nah, selepas shalat Jum’at tiba-tiba saja Imam Masjid dan Khotib menghampiri saya. Mereka mencium tangan saya bahkan ada yang sampai membungkukkan badan. “Minta do’a mas, biar ke depan lebih baik. Do’a restu mas sangat penting bagi saya,” kata salah seorang ajengan sambil menunduk.
Memang tak seorang pun dari mereka yang berani menatap mata saya. Semuanya menunduk dan menaruh hormat kepada saya. Sejujurnya saya heran dengan perlakuan mereka. Saya tidak tahu mengapa mereka sampai begitu hormat padahal saya tidak melakukan apa-apa disana. Saya hanya berpakaian ala seorang sunan. Tidak kurang. Dan tidak lebih.
Bujukan Jin untuk kembali merasuki ke dalam jiwa
Tahun 2004, menggoreskan tinta emas dalam perjalanan hidup saya. Di tahun itu saya menemukan kedamaian dan ketenangan jiwa setelah sekian lama berada di bawah bayang-bayang kekuatan ghaib. Hal ini bermula ketika saya mengikuti Seminar Alam Ghaib dan Ruqyah Massal yang diselenggarakan di Bogor.
Dari pemaparan Ustadz Febri, saya tersadar, bahwa apa yang saya jalani selama ini ternyata salah. Kekuatan-kekuatan ghaib yang saya dapatkan rupanya berasal dari jin. Yang berpura-pura membantu manusia tapi pada hakekatnya dia menjerumuskan manusia ke jurang kehancuran. Saya telah terpedaya, tanpa saya sadari.
Benar. Seandainya kekuatan yang saya miliki bukan karena ulah jin, tentu saya tidak akan mengalami masalah. Saat dibacakan ayat al Qur’an. Sebaliknya, seharusnya hati saya menjadi tenang. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Saya berada dalam pengaruh jin yang masuk melalui mantra-mantra saya dulu.
Menurut cerita teman-teman, saya merapal mantra Bolosewu, maupun Cecak Ijo yang merupakan warisan dari Raden Mas Rangsang. Di situlah muncul kekuatan yang tidak wajar. Tujuh orang yang memegang badan saya terpental. Berbagai macam jurus pun langsung saya peragakan.
Dengan susah payah Ustadz Febri dengan dibantu beberapa orang berusaha mengalahkan saya dengan bacaan ayat-ayat al Qur’an. Setelah sekian lama bertarung, akhirnya saya menyerah.Jin yang berada dalam diri dikeluarkan satu persatu dalam beberapa kali ruqyah.
Hanya jin Cecak Ijo yang tetap membandel. Ia tetap bertahan. Ketika saya ruqyah yang keenam kali di rumah Ustadz Febri, jin Cecak Ijo kembali berulah. Saya merayap di dinding. Tak ubahnya seperti seekor cecak. Tak lama kemudian saya melakukan semedi dengan kaki di atas. Apa yang terjadi saat ruqyah itu memang di luar kendali saya.
Ketika merayap di tembok, saya hanya merasakan seperti mengawang saja. Saya seperti sedang berada di udara. Setelah sekian lama diruqyah akhirnya jin Cecak Ijo pun menyerah. Dia mau keluar dari badan saya. Beberapa jin yang telah dikeluarkan saat diruqyah itu, masih ada saja yang ingin kembali. Mereka menemukan tempat yang mereka senangi.
Itu karena saya sering melakukan semedi maupun puasa yang tidak diperintahkan Rasulullah. Satu hal yang membuat para jin itu senang. Tapi saya sadar, bahwa godaan jin terlaknat itu tidak boleh saya turuti. Saya bukan lagi orang yang dulu. Kini saya telah bertekad untuk merubah keadaan. Saya tidak mau lagi diperbudak jin.
Tantangan terberat berasal dari keluarga sendiri. Keluarga besar saya memang memiliki sebuah benda pusaka berupa tombak. Ia disebut juga dengan kanjeng Nyai Ratu Samudra. Semenjak bapak dirawat di rumah sakit, bapak mengharap saya untuk merawat Kanjeng Nyai Ratu Samudra. Tapi saya tidak mau.
Saya katakan, bahwa saya telah bertekad untuk membuang ilmu yang saya miliki selama ini. Bapak belum menerima alasan saya. “Saya belum ikhlash.Siapa yang mau meneruskan?” Kata bapak lirih. Empat hari setelah jubah kebesaran dibakar Ustadz Febri, bapak meninggal.
Bertepatan dengan hari Ahad sore. Sejak bapak meninggal hujan deras mengguyur Yogya sampai hari Senin. Senin pagi itu, saya sampai Yogya jam sepuluh pagi. Saya berangkat dari Bogor. Hujan seakan dicurahkan dari langit. Deras mengguyur dengan kilat menyambar-nyambar.
Saya berpikir bahwa hujan itu ada kaitannya dengan tombak Nyai Ratu Samudra. Akhirnya tombak itu saya ambil dari tempat penyimpanannya. Tombak itu saya dekatkan dengan peti jenazah bapak. “Jangan ikut bapak. Kamu tetap tinggal di dunia. Jangan ikut yang sudah meninggal. Bapak sudah mau dimakamkan.” Kata saya dengan lantang.
Tak lama kemudian, hujan reda. Langit langsung terang benderang. Tak ada mendung. Tidak ada gerimis. Waktu jenazah bapak diiring ke pemakaman, tombak pusaka itu saya serahkan kepada kakak saya dengan disaksikan ratusan orang. Setelah syukuran dan selamatan, saya balik lagi ke Bogor, ternyata bapak saya sering menemui saya dalam mimpi.
Setiap kali datang di sampingnya pasti ada tombak Nyai Ratu Samudra. Tombak itu masih ingin ikut dengan saya, tapi selalu saya tolak. Sampai sekarang bayangan bapak itu masih sering ikut. Semoga kisah ini ada hikmahnya bagi saudara saya di manapun tempatnya. Kita sering dibodohi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Karena itu jangan lagi terkecoh
.Dikutip ulang akun Official Twitter Rumah Ruqyah Indonesia: @RumahRuqyahID, Follow Us!Majalah Ghoib Edisi Khusus; Dukun-dukun Bertaubat, Hal 8 – 15
http://www.rumahruqyah.com
CATATAN:
Kisah ini merupakan contoh tipu daya jin leluhur atau jin  nasab pada manusia untuk menyesatkan mereka dengan menggunakan ayat ayat Qur’an dan kalimat thoyyibah.  Iblis dan balatentaranya dari golongan jin merupakan musuh abadi umat manusia, Allah memerintahkan kita agar berhati hati terhadap mereka. Berteman dan bersahabat dengan jin lebih banyak mudharat daripada manfaatnya Allah telah mengingatkan hal kitu pada surat jin ayat 6
[72:6] Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungankepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *