Rumah adalah istana keluarga. Tempat saling berbagi suka dan duka. Itulah rumah idaman setiap orang. Tapi, bila rumah dijadikan sebagai tempat pemujaan jin, masalah demi masalah terus bermunculan. Yang menyedihkan, kehancuran rumah tangga tinggal menunggu waktunya.
Seperti pengalaman Wulan (nama samaran), seorang ibu rumah tangga beranak satu asal Sukabumi. Dengan ditemani suaminya, Wulan menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di Bogor : Berikut petikan kisahnya.
Pada tahun 1982, bapak membeli sebuah rumah yang bisa dibilang cukup tua di Cisaat, Sukabumi. Rumah panggung tipe kuno dengan dinding gedhek beranyamkan bambu, seluas lima puluh kali sepuluh meter. Sebenarnya rumah tersebut oleh pemiliknya, sebut saja ibu Kokom (bukan sebenarnya), dibagi menjadi tiga ruangan dengan tiga pintu.
Kalau di kota besar seperti Jakarta, rumah itu disebut dengan rumah petak. Bedanya hanya terletak pada keberadaan pintu yang menghubungkan antara rumah yang satu dengan lainnya. Sehingga setiap anggota keluarga tidak harus melalui pintu utama untuk masuk rumah sebelahnya.
Ia cukup hanya melewati pintu samping yang menghubungkan antar rumah. Ibu Kokom sendiri menempati petakan bagian tengah sedangkan anak anaknya tinggal di petakan sebelah kanan dan kirinya. Pada waktu membeli rumah tersebut, kami sekeluarga tidak mempunyai pikiran apa-apa.
Bapak sendiri juga tidak tahu banyak tentang latar belakang keluarga ibu Kokom. Dan saya kira itu wajar saja. Bapak bukanlah seorang detektif sehingga harus bertanya macam-macam. Meski desas-desus yang pernah sampai ke telinga bapak mengatakan bahwa tidak sedikit pedagang yang mencari penglaris dengan datang ke dukun.
Ibu Kokom termasuk dalam kelompok mereka. Kabar semacam ini bukan hanya tersebar dikalangan pedagang pasar Cisaat saja, tapi hampir merata di berbagai kawasan pasar. Sehingga Bapak tidak punya prasangka buruk ketika membeli rumah tersebut.
Kebetulan Bapak membeli petakan tengah yang dulu menjadi tempat tinggal ibu Kokom. Sedangkan sebelah kiri dibeli oleh seorang guru dan sebelah kanan dibeli orang lain. Saya akui, memang saya tumbuh dilingkungan keluarga yang sesekali muncul riak-riak kecil.
Saya sadar bahwa roda kehidupan tidak selalu meluncur diatas jalan tol. Kadang melewati tanjakan atau bahkan turunan yang curam. Belum lagi bila di sana-sini banyak jalan yang rusak. Saya masih menyimpan harapan bahwa riak-riak itu tidak semakin membesar.
Tapi harapan itu hanya tinggal harapan. Kenyataan yang terjadi justru semakin menyakitkan setelah saya sekeluarga menempati rumah di Cisaat.tersebut. Pertengkaran antara ibu dan bapak semakin meningkat. Hanya dikarenakan masalah yang sepele Bapak langsung marah.
Misalnya ketika makanan buatan ibu tidak sesuai dengan selera bapak, maka piring pun langsung melayang. Isinya berhamburan di lantai. Sungguh, kasihan ibu yang telah memasaknya dengan peluh keringat. Terlebih ketika mendengar omelan-omelan bapak yang menyakitkan telinga.
Mendapat perlakuan demikian ibu langsug membalas dengan kemarahan juga. Dan adu mulut tidak lagi bisa dihindari. “Kita cerai saja,” kata ibu setiap kali bertengkar. Saya ingin meredakan kemarahan mereka, tapi apalah daya.
Saya waktu itu masih anak-anak yang masih belum bisa berbuat banyak. Hanya tatapan mata yang penuh kepedihan yang terlontar. Entahlah, waktu itu saya masih tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa bara rumah tangga semakin memanas.
Sebenarnya kejadian-kejadian aneh yang diluar nalar sudah mulai bermunculan sejak pemugaran rumah pada tahun 1985. Sejak rumah gedhek berganti dengan tembok dua lantai. Sementara sumur yang dulunya terletak dibelakang rumah, sekarang telah ditimbun dan disulap menjadi dapur.
Di sinilah, di dinding dapur awal keanehan itu terjadi. Sekitar satu meter dari lantai, sesekali terlihat seekor kera putih menempel di dinding layaknya seekor cicak saja. Kera putih itu hanya menampakkan dirinya kepada ibu.
Ia seakan tidak mau dilihat oleh orang lain. “Itu kera putih,’‘ jerit ibu suatu saat. Namun ketika saya menengok ke dinding yang ditunjukkan ibu, kera putih itu sudah tidak lagi terlihat. Entahlah, mengapa demikian.
Saya hanya merasakan tiupan-tiupan kecil disekitar tengkuk saya. “Wahh…,” jerit saya terpekik. Badan saya langsung merinding dibuatnya. Saat itu saya sendirian dan tanpa pikir panjang saya mengambil langkah seribu. Lari…
Yang penting terbebas dari tiupan makhluk aneh yang tidak terlihat. Saya membayangkan seekor kera putih sedang iseng menggoda saya. Peristiwa demi peristiwa itu membuat saya bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi dengan rumah yang saya tempati.
Saya coba mencari jawaban. “Pemilik rumah ini dulunya adalah seorang pemuja kera,” hanya itulah jawaban yang saya terima. Saya bertanya kembali kepada tetangga kiri kanan, ”Ibu Kokom adalah seorang pemuja kera putih yang meninggal sebelum perjanjiannya dengan kera putih terselesaikan. Ibu Kokom ingin dagangannya laris,” tutur seorang warga penduduk asli Cisaat kepada saya.
Sewaktu kakek saya dari pihak ibu yang masih memiliki garis keturunan Hamengku Buwono III bermain ke rumah, ia merasakan keanehan, ”Rumah ini memang tidak wajar. Dingin,” ujar kakek beberapa saat setelah istirahat.
Akhirnya kami sekeluarga menceritakan apa yang kami alami secara bergantian. Pada malam jum’atnya terdengar kegaduhan dari kamar kakek di lantai dua. Suara itu persis orang berkelahi. Tidak lama kemudian, terlihat kakek menuruni tangga dengan tangan ke belakang.
Ia seperti menggendong seorang seorang anak dipunggung. Kakek terus berjalan kaki ke arah Situ Gunung. Katanya jin kera itu minta digendong dan dipindahlan ke Cicurug. Apa yang dilakukan kakek rupanya tidak banyak membantu. Hawa panas yang menyelimuti anggota keluarga tetap saja tidak hilang.
Derita Ibu Yang Sakit Kulit Bertahun -tahun Hingga Meninggal.
Sejak tahun 1996 ibu menderita sakit yang aneh. Aneh karena penyakit ibu selalu berganti-ganti. Hari ini gatal sekujur kulitnya, besoknya pusing dan keesokan harinya lagi demam panas. Lebih aneh lagi bila rasa sakit itu selalu datang setiap menjelang maghrib.
Keanehan inilah yang mengantarkan kami sekeluarga untuk membawanya berobat ke seorang paranormal di Jakarta Barat. Di tempat tersebut, ibu disuruh membeli air dan telur dua butir kemudian diusapkan ke seluruh tubuh ibu setelah dibacakan mantra.
”Penyakitnya akan menempel di telur tersebut,” ujar sang paranormal meyakinkan. Setelah digosok beberapa kali, telurnya tidak mau dicabut dari kulit ibu. Aneh memang. Telur itu seakan ingin menyatu dengan kulit ibu.
Entahlah kekuatan apa yang menahannya, hingga dibutuhkan enam orang untuk menarik telur dari kulit ibu. Dan setelah dibuka telur tersebut isinya menjadi abu gosok. Tidak ada lagi putih dan kuning telur. Sungguh seperti permainan sulap saja.
Sepulang dari jakarta barat tetap tidak ada perubahan. Rasa gatal masih menggerayangi tubuh ibu. Ibu terus menggaruknya hingga lecet-lecet. Meski rasa gatal tidak tertahankan lagi, ibu tetap tidak mau mengeluh kepada anak-anaknya.
Rasa sakit itu ditahannya dengan cara menggigit bantal. Ibu menangis. Tapi tangisan yang tidak terdengar dari luar kamar. Sebuah penderitaan panjang yang terus berlangsung hingga ajal menjemput beliau tahun 2001.
Saya Benci Suami
Dalam waktu yang bersamaan, saya menjadi korban keganasan rumah pemujaan kera. Ibu tidak menderita sendirian, sayapun akhirnya ikut merasakan kesengsaraan dalam rumah itu. Saya yang melangsungkan pernikahan tahun 1998 belum merasakan indahnya hidup berumah tangga.
Kamar pengantin terasa panas. Ia seakan memercikkan bara api. Tidak ada lagi kemesraan dalam kamar. Yang tersisa hanyalah kekesalan demi kekesalan. Indahnya pengantin cuma isapan jempol belaka dan hanya hadir dalam mimpi.
Saya tidak tahu, mengapa saya tidak merasakan sesuatu yang istimewa setelah menikah. Semuanya masih sama seperti dulu sebelum menikah. Sebuah perkawinan yang hambar. Suami saya pulang atau tidak, bukan masalah.
Tidak ada rindu ataupun persiapan menyambut datangnya suami setelah berpisah beberapa hari. Bahkan sebaliknya. Hati saya menjadi kesal dan bawaannya marah saja bila berduaan di dalam kamar. Namun perasaan itu hilang bila berada diluar kamar dan diluar rumah.
Kemarahan dan benci kembali hadir bila suami mencoba merayu dan mendekati saya. Sejak menikah saya mengalami sakit-sakitan. Bahkan saya hampir mengalami kebutaan saat hamil, padahal saya sudah berusaha untuk berobat secara rutin kepada dokter.
Pada tahun 1999 lahirlah anak saya, seorang bayi perempuan melalui proses yang mendebarkan. Datangnya si buah hati tetap saja tidak bisa menghilangkan rasa marah yang ada. Sebuah kemarahan yang tidak wajar memang.
Ibu manakah yang tega menyakiti anak sendiri? Tapi tidak demikian halnya dengan saya waktu itu. Anak yang masih kecil itu setiap hari mendapatkan kemarahan. Entahlah kenapa setiap hari saya selalu menyiksa perasaan anak saya.
Hanya karena ingin pipis atau merengek minta susu, saya langsung kesal. Pernah suatu ketika saya sampai mengguyur lalu mengurungnya di kamar mandi. Selain itu, saya juga menderita sakit kepala yang datang tiba-tiba.
Seakan ditusuk ribuan jarum dan paku, hingga saya bergulingan di lantai. Sakit kepala yang aneh. Setiap kali ibu bermimpi dkserang ular di siang hari, keesokan harinya saya langsung koyang-kayingan, mata menjadi gelap dan kepala seakan berputar-putar.
Mimpi ular menjadi isyarat datangnya derita. Entahlah sampai sekarang saya tidak tahu apa hubungan antara mimpi ular dan sakit kepala. Untuk menyembuhkannya saya datang ke beberapa paranormal. Waktu itu saya memang tidak tahu bahwa pengobatan seperti yang saya lakukan itu bertentangan dengan agama.
Dalam benak saya hanyalah kesembuhan dan hilangnya derita. Saya juga sempat diobati oleh seorang paranormal asal Pontianak yang kebetulan berkunjung ke Sukabumi. “Kalau ingin selamat, istri dan anakmu harus pindah dari rumah ini,” kata paranormal tersebut kepada suami saya.
Selain itu ia juga ia memberi saya korek api yang harus diletakkan di ketiak, “Bu, korek apa ini jangan sampai lepas. Kalau nanti malam ibu bermimpi maka orang yang muncul dalam mimpi itulah yang mengerjai ibu.”
Memang malam harinya saya bermimpi. Tapi saya sadar bahwa saya tidak boleh menuduh orang sembarangan hanya berdasarkan mimpi. Maka ketika paranormal tersebut bertanya, “Mimpi nggak ?” “Nggak, saya nggak mimpi,” jawab saya.
“Ya sudah, besok ibu beli bengkoang lima biji dan tidak boleh di kilo,” katanya. Bengkoang tersebut dihaluskan dan dijadikan sebagai bedak. Pengobatan ke paranormal ini tidak menyelesaikan masalah sehingga saya dibawa ke beberapa paranormal lainnya.
Anak Saya Makan Krayon, Plastik, Tissue dan Ikan Mentah
Dalam kondisi jiwa yang tidak stabil tersebut, saya terus merawat anak semata wayang saya. Yang selanjutnya juga mengalami keanehan-keanehan. Awal keanehan terjadi pada saat anak saya, (sebut saja Novi) berumur dua tahun.
Pada suatu waktu di malam Jum’at tahun 2000, Novi mengalami kejang, giginya gemeretak. Saya khawatir Novi menderita step, untuk itu Novi segera dilarikan ke rumah sakit. Setiba di rumah sakit ia segera dirawat seorang dokter, “Nggak panas bu. Ini bukan step. Sudah, bawa pulang lagi saja,” kata dokter sedikit bingung.
Setelah peristiwa di malam Jum’at itu, bisa dipastikan setiap tiga bulan sekali Novi kembali mengalami kejang-kejang. Itulah awal datangnya keanehan yang beruntun. Setiap mendengar adzan, tangan Novi segera mencari sasaran.
Ia menabok dan mencakar apa saja yang ada di depannya. Keberingasannya mengingatkan saya kepada seekor kera yang sedang belajar mencakar. Selain itu, Novi mulai keranjingan makan. Memakan apa saja. Bahkan dia pernah makan belut mentah saat berumur dua tahun.
Waktu itu tetangga depan rumah sedang panen ikan dan meletakkannya di baskom. Novi yang nampak duduk dengan tenang di samping baskom ikan ternyata mengunyah daging ikan belut mentah-mentah setelah menghancurkan kepala belut dengan cakaran tangan-tangannya hingga putus.
Semakin lama kebiasaan Novi semakin mengkhawatirkan. Ia tidak lagi mau minum susu. Minuman kesukaannya hanyalah teh botol dan dalam jumlah yang cukup banyak. Bayangkan, anak berumur tiga tahunan mampu menghabiskan satu krat teh botol hanya dalam waktu empat hari!
Hari-hari berikutnya keranjingan makan Novi tidak tertahankan. Apapun yang teraih tangannya seperti plastik, tissue ataupun kertas pasti segera dikunyah. Krayon untuk melukis pun dikunyahnya hingga hancur. Untuk menyelesaikan berbagai masalah tersebut saya dan keluarga terus berusaha, walaupun ternyata cara itu salah. Pergi ke paranormal misalnya.
Waktu itu saya masih belum tahu bahwa langkah yang saya tempuh itu salah. Yang ada dalam benak saya adalah bagaimana saya bisa sembuh dari berbagai masalah yang ada. Saya pernah berobat ke paranormal di Cicurug selama berkali-kali hingga sang paranormal tertarik dan akan mengawini saya.
“Istri kamu adalah istri yang nggak benar. Istri yang tidak bisa ngurus suami. Kalau suami kerja, dia ngeluyur. Kalau kamu masih sama dengannya, maka kamu tidak akan bahagia seumur hidup. Ceraikan nanti saya yang mengurusnya,” kata paranormal itu kepada suami saya.
Terang saja permintaan gila itu tidak kami terima. Dan sayapun dibawa suami ke paranormal lain di Sukabumi yang juga masih teman suami saya. Peristiwanya terjadi ketika sedang camping di Sukabumi. Waktu itu si paranormal ikut serta bersama rombongan.
Dan ketika ia mencoba mengobati anak saya, Novi, ternyata jin kera yang merasuk ke dalam diri Novi masih belum bisa bicara. Untuk itu perlu diadakan ritual pemanggilan raja jin kera agar bisa diajak dialog. Pemanggilan raja jin dilakukan pada malam minggu didalam sebuhh gubuk yang terletak di areal perkemahan.
Saat itu tidak sembarang orang dibolehkan mengikuti ritual pemanggilan jin. Hanya ada empat orang yang ikut serta masuk ke dalam gubuk, saya dan tiga orang paranormal. Sementara itu suami saya dan Novi hanya bisa menunggu hasil pemanggilan jin raja kera dengan harap-harap cemas.
Angin bertiup kencang disertai dengan suara ribut menandai datangnya raja jin kera yang kemudian dimasukkan ke dalam salah satu tubuh paranormal. Suara paranormal yanag menjadi media jin pun berubah, “Kamu jangan mengganggu anak buah saya. Kamu jangan turut campur urusan saya. Karena saya masih punya urusan dengan ibu Kokom. Dia meninggal sebelum perjanjiannya dengan saya selesai,” ujar Raja Jin melalui mulut seorang paranormal.
Dialog antara paranormal dengan jin yang mengaku sebagai raja kera putih berlangsung cukup lama, tapi tetap saja belum ada yang kalah. Akhirnya disepakati untuk diadakan pertarungan secara ghaib pada malam Jum’at.
Untuk menentukan siapa yang terkuat. Dengan perjanjian bahwa bila raja jin kera kalah dalam pertarungan tersebut, maka dia akan keluar dari tubuh Novi dan tidak lagi mengganggu orang yang menempati rumah saya.
Malam Jum’at yang disepakatipun tiba dan terjadilah pertarungan yang telah disepakati sebelumnya. Setelah pertarungan ghaib itu, badan sang paranormal terlihat biru lebam. Hal itu saya ketahui melalui cerita suami yang datang ke rumah paranormal sehari setelah pertarungan.
“Sekarang kamu cepat-cepat pulang. Nanti pagi tanya sama anak kamu di rumah masih ada nggak si kera tersebut,” kata paranormal ke suami saya.. Setelah mendengar cerita suami saya, saya tidak sabar menunggu datangnya pagi, karena saya ingin segera terbebas dari gangguan jin yang telah merongrong keluarga saya.
“Neng, kumaha neng. Monyetnya masih ada nggak?” tanya suami saya ke Novi tak lama setelah ia bangun tidur. “Sekarang ada diluar sama bapaknya. Mereka mau pergi ke gunung,” kata Novi setelah celingukan mencari jin kera.
Terus terang Novi memang memiliki kemampuan melihat jin kera yang ada di dalam rumah sementara saya dan suami tidak bisa melihatnya.
Awal Datangnya Hidayah
Karena suatu alasan akhirnya, saya sekeluarga pindah ke Bogor. Di Bogor inilah saya mengikuti kajian keislaman setiap hari minggu. Setelah beberapa kali diadakan pengajian, mulailah diadakan ruqyah yang ditangani oleh Ustadz Febri.
Saya hadir bersama suami dan anak saya. Pada saat peserta ruqyah sedang mendengarkan ayat-ayat al Qur’an, tiba-tiba Novi yang tadinya bermain diluar ruangan berlari-lari. Ia meloncat – loncat dan langsung menggaruk-garuk kaca jendela.
Tingkah laku Novi tak ubahnya seperti seekor kera. Dari mulut mungilnya terdengar teriakan, “Monyetnya berdarah. Monyetnya keluar.” Selanjutnya Novi ditangkap ayahnya dan diruqyah oleh Ustadz Febri.
Ia hanya meronta-ronta dan tidak mau berbicara. Novi hanya bisa menangis. Seminggu kemudian, saya mengikuti ruqyah untuk kedua kalinya. Ruqyah kali ini, Novi sempat meloncat – loncat seperti seekor kera. Sebelum akhirnya dia menjadi tenang.
Tak lama setelah Novi mulai tenang saya mendapat giliran untuk ruqyah. Benar saja raja kera putih datang. Hal itu diketahui oleh Mutia, seorang pasien, yang mengaku bisa melihat jin, “Yang kecil sudah nggak ada. Tuh rajanya yang besar datang.”
Katanya mereka marah karena anak buahnya diusir. “Saya tidak mau keluar karena perjanjiannya belum selesai,” kata jin yang membandel dan tidak mau keluar. Saat ditanya apa perjanjian yang ada diantara mereka, jin yang merasuk dalam diri saya hanya diam saja.
Ia tidak mau menjawab. Ruqyah yang kedua itu berakhir dengan tetap menyisakan jin kera yang masih belum mau keluar. Saya bersyukur akhirnya gerakan-gerakan kera hilang setelah saya mengikuti ruqyah yang keenam kalinya.
Setelah mengikuti terapi ruqyah itulah saya sadar bahwa apa yang menimpa keluarga dan orang-orang yang membeli rumah ibu Kokom tidak lepas dari pengaruh jin kera putih. Tetangga yang tinggal di sebelah kiri saya adalah seorang guru yang telah berselingkuh tiga kali.
Sedangkan anak salah seorang tetangga yang tinggal di sebelah kanan saya pernah mengalami gangguan kejiwaan. Meski sekarang ia telah sembuh, tapi bara dalam rumah tangganya tidak kalah panasnya dengan keluarga saya.
Inilah sepenggal kisah nyata yang saya alami bersama orang tua dan anak semata wayang kami. Kami sekeluarga menjadi korban keganasan jin PENGLARIS yang membantu budak-budaknya untuk mengumpulkan harta dengan cara haram.
Semoga kisah ini menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa rumah kita harus selalu dijadikan sebagai tempat sholat maupun ibadah lainnya. Bukannya dijadikan sebagai tempat pemujaan jin. Apapun alasannya. Bantuan jin tidak ada yang gratis. Ia akan meminta imbalan atas apa yang diberikannya. Dan imbalannya yang paling besar adalah tergadainya AKIDAH kita. Sekian.
Majalah Ghoib Edisi 21 Th 2/8 Jumadits Tsani 1425 H/26 Juli 2004 M Hal 4-9
Sumber : http://www.rumahruqyah.com