Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
REPUBLIKA.CO.ID, Idelologi apakah sebenarnya yang menjadi rujukan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) sehingga menghalalkan untuk menculik, membunuh, menyiksa, dan menjual perempuan-perempuan tawanan mereka?
Mengutip media al-Sharq al-Awsat, keberagamaan ISIS didasarkan pada ideologi takfiri. Takfiri adalah sebutan untuk orang-orang yang dengan gampang menuduh orang lain sebagai kafir. Tuduhan itu sendiri disebut at-takfir atau takfir. Dan, bila seseorang distempel sebagai kafir, maka orang tersebut dianggap sebagai najis atau kotor.
Paham atau aliran at-takfir inilah yang kemudian melahirkan ideologi radikal yang menghalalkan segala cara untuk sebuah tujuan, termasuk apa yang dilakukan ISIS ketika memenggal kepala orang-orang yang diculik atau menjadi tawanannya.
Menurut hasil kajian Daru al Ifta’ al Masriyah (Lembaga Fatwa Mesir), jamaah takfiri membagi masyarakat ke dalam dua kelompok: Muslim atau kafir. Yang termasuk dalam kategori kafir disebutkan adalah kaum Yahudi dan Nasrani. Mereka menganggap kedua kaum ini selalu menghalangi penegakan syariat Islam. Tidak dijelaskan bagaimana orang-orang di luar kedua kaum itu.
Sedangkan, para pemimpin negara-negara Islam (mayoritas berpenduduk Muslim) yang bekerja sama dengan kaum kafir mereka sebut sebagai murtad, yang boleh diperlakukan sebagai kafir. Kerja sama itu, misalnya, menjalin hubungan diplomatik, memberi izin kapal-kapal kaum kafir melintasi perairan negara-negara Islam, serta memberi visa wisatawan kafir.
Para wisatawan kafir, menurut mereka, memasuki negara Islam hanya untuk tiga tujuan: mata-mata, menyebarkan kemaksiatan, dan Kristenisasi. Karena itu, menurut mereka, para pemimpin negara Islam yang bekerja sama dengan negara kafir juga boleh diperangi.
Dalam pandangan jamaah takfiri, demikian hasil kajian Daru al-Ifta’ al Masriyah, pemilihan umum atau demokrasi adalah sistem kafir. Mereka menilai sistem demokrasi telah menyaingi syariat, menyetarakan kedudukan kafir dengan Muslim, menyamakan yang baik dengan jahat, dan memberi hak sama kepada mereka—Muslim maupun kafir—untuk memberikan suara dan mencalonkan diri dalam pemilu.
Sedangkan, pemerintahan yang benar, menurut mereka, harus dibentuk dengan sistem syura, yakni dilakukan oleh lembaga Ahlu al Halli wal al ‘Aqdi, yang anggotanya terdiri dari para ulama. Dalam negara versi mereka, seluruh persoalan seharusnya ditangani para ulama dan tokoh-tokoh agama. Mereka yang menentukan seluruh kebijakan, peraturan, dan semua urusan, baik yang terkait dengan masalah keagamaan maupun keduniaan.
Sementara itu, pemerintahan di negara-negara Islam (mayoritas Muslim) yang ada sekarang ini mereka pandang sebagai masyarakat yang dungu alias jahiliyah. Penyebabnya, mereka—para pemimpin dan masyarakat Islam—mengikuti gaya dan pola hidup kafir serta tunduk pada undang-undang buatan manusia. Atas dasar ini kelompok takfiri membolehkan pembangkangan dan bahkan melawan pemerintahan Islam (mayoritas Muslim) yang ada sekarang ini.
Dalam kajian berjudul “Nalar Takfir: Dasar Pemikiran dan Metodenya” itu juga disebutkan, jamaah takfir tidak mengenal batas negara. Batas-batas negara yang ada sekarang ini dikatakan sebagai dibuat kaum kolonial kafir. Bagi kelompok takfiri, seluruh negara Islam adalah satu negara di bawah khilafah Islamiyah. Karena itu, kelompok takfiri membolehkan melanggar perbatasan negara lain. Bahkan, mereka diperbolehkan menjadi kelompok separatis di suatu negara demi membangun negara Islam.
Itulah yang terjadi pada ISIS. Negara yang dideklarasikan sebagai negara khilafah dan didirikan di atas wilayah dua negara yang sah, yaitu Irak dan Suriah. Di negara yang tidak diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia ini, Abu Bakar al-Baghdadi diangkat sebagai khalifah lil Islam wa lil Muslimin dengan gelar amirul mukminin.
Negara al-Baghdadi ini tadinya direncanakan hanya di Irak Utara, tapi ketika berhasil menguasai wilayah di Suriah, mereka pun menggabungkannya menjadi satu negara. Dengan kata lain, negara ini adalah ekspansionis hingga semua umat Islam di seluruh dunia berbaiat kepada si Abu Bakar al-Baghdadi.
Dengan nalar seperti itu, kelompok takfiri memandang konsep negara bangsa berdasarkan wilayah tertentu hanyalah dimaksudkan untuk memusuhi Islam dan umat Islam. Untuk itu, mereka akan selalu berusaha meruntuhkan institusi-institusi negara dan menciptakan kekacauan dengan berbagai cara, termasuk melakukan teror dan pembunuhan. Juga mengafirkan seorang presiden dan memfatwakan pembangkangan terhadap pemerintahan yang dibentuk dengan sistem demokrasi.
Mereka juga melarang masyarakat menjadi pegawai negeri di negara yang tidak menerapkan syariat. Mereka membolehkan warga tidak membayar pajak serta menentang peraturan dan hukum di negara demokratis yang mereka nilai tidak Islami.
Kelompok takfiri juga menfatwakan wajib menyerang aparat keamanan dan hukum lantaran dianggap telah menghambat penegakan syariat Islam. Mereka juga menghalalkan pembunuhan terhadap pejabat negara, kaum intelektual, pebisnis, wisatawan, dan wartawan, yang bekerja sama dengan atau untuk orang kafir.
Bagi kelompok takfiri, memerangi kelompok kafir adalah tujuan strategis dan bukan pilihan taktis. Tujuannya untuk mengislamkan dunia dan membebaskan negara-negara Islam dari perjanjian-perjanjian internasional yang tidak sesuai dengan syariat. Mereka juga mengharamkan bergabung dengan institusi-institusi dan lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena dianggap memakai sistem kapitalis sekuler yang berarti kafir.
Dalam pandangan kelompok takfiri, masih mengutip hasil kajian Daru al Ifta‘ al-Masriyah, mengislamkan masyarakat internasional adalah kewajiban yang tidak pernah berhenti. Dimulai dengan membebaskan umat Islam dari apa yang mereka sebut sebagai “jahiliyah baru” dan kemudian membangun masyarakat Islam baru yang ideal.
Masyarakat Islam baru yang ideal itu, menurut mereka, adalah seperti yang pernah dibangun oleh kelompok Taliban di Afghanistan dan kini ISIS di Irak dan Suriah. Dalam pandangan mereka, Taliban—dan kini ISIS—telah berhasil mewujudkan keadilan, menegakkan syariat Islam, dan membangkitkan kembali jihad melawan kaum kafir dan sekutunya.
Yang mengherankan, ini versi saya, meskipun kaum takfiri menganggap kaum Yahudi sebagai kafir dan menjadi musuh utama, tapi hingga kini mereka—kelompok takfiri seperti ISIS itu—tidak pernah terlibat, baik dalam aksi maupun pernyataan, untuk membela perjuangan bangsa Palestina melawan si penjajah Zionis Israel.
Boleh jadi, Zionis Israel itu justru dijadikan sebagai mitra strategis kelompok takfiri untuk membuat kekacauan dan menghancurkan negara-negara Islam (mayoritas Muslim), tujuannya untuk merebut kekuasaan. Sebab, kelompok takfiri di mana pun berada tidak akan bisa tumbuh berkembang kecuali di negara-negara yang sedang dilanda kekacauan, seperti halnya di Irak, Suriah, Libya, Yaman, dan seterusnya.
Lalu, bagaimana pandangan Anda, wahai sidang pembaca? Wallahu a’lam.
(Sumber :Harian Republika 2 februari 2014 )
mungkin untuk beberapa tahun kedepan kesabaran, tawakal dan iman orang beriman sedang diuji.