A.Nizami
Manhaj dan jalan Islam berbeda sama sekali dengan manhaj tasawuf,dan perbedaan itu mengenai hal yang sangat mendasar. Yaitu perbedaan dalam hal sumber – sumber pengambilan agama dalam akidah dan syari`ah. Dijelaskan, Islam menjadikan sumber pengambilan Aqidah terbatas pada wahyu yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul saja, hal yang kita miliki adalah Al Qur`an dan As Sunnah (hadits Nabi SAW) saja.
Adapun agama sufisme (Ad-dienus shufi). Istilah Abdurrahman Abdul Khaliq yang mereka jadikan sumbernya adalah bisikan yang dida`wahkan datang kepada para wali dan kasyaf (terbukanya takbir hingga mereka tahu yang ghoib) yang mereka da`wahkan, dan tempat-tempat tidur(mimpi-mimpi), perjumpaan dengan orang-orang mati yang dulu-dulu, dan (mengaku berjumpa) dengan Nabi Khidir a.s, bahkan dengan melihat Lauh Mahfudh, dan mengambil (berita) dari jin yang mereka namakan para badan halus (Rohaniyyin).
Adapun sumber pengambilan syari`ah bagi ahli Islam adalah Al Kitab (Al Qur`an), As Sunnah (Al Hadits), Ijma` (kesepakatan para ulama terdahulu mengenai awal Islam), dan Qiyas (perbandingan, yaitu pengambilan hukum dengan membandingkan kepada hukum yang sudah ada ketegasannya dari Nash/text Al Qur`an atau Al Hadits, dengan syarat kasusnya sama, misalnya beras bisa untuk zakat fitrah karena diqiyaskan dengan gandum yang sudah ada nash haditsnya). Sedangkan bagi orang-orang tasawuf , perbuatan syariat mereka didirikan diatas mimpi-mimpi (tidur), khidhir, jin, orang-orang mati,syaikh-syaikh, semua mereka itu dijadikan pembuat syariat. Oleh karena itu, jalan-jalan dan cara-cara pembuatan syariat tasawuf itu bermacam-macam. Sampai-sampai mereka mengatakan jalan-jalan menuju Allah SWT itu sebanyak bilangan nafas makhluk-makhluk. Maka tiap-tiap syaikh memiliki tarekat dan manhaj/jalan untuk pendidikan dan dzikir khusus.
Maka tasawuf itu adalah ribuan agama, aqidah, dan syari`at; bahkan ratusan ribu tidak terhitung banyaknya, semuanya itu dibawah apa yang dinamakan tasawuf.Dan inilah perbedaan asasi (pokok/dasar) antara Al Islam dan tasawuf. Islam itu adalah agama yang Muhaddad (ditegaskan batasan ketentuan) aqidahnya, ibadahnya, dan syari`atnya. Sedangkan tasawuf itu agama yang tidak ada batasannya, tidak ada pengertian (yang ditentukan secara pasti) dalam aqidah ataupun syari`at-syari`atnya. Inilah perbedaan yang paling besar antara Al Islam dan tasawuf.
Garis-garis besar Aqidah Sufisme
1.Aqidah Sufisme mengenai Allah
Orang-orang tasawuf percaya kepada Allah dengan aqidah-aqidah yang macam-macam diantaranya al-hulul (inkarnasi, penitisan/penjelmaan Tuhan dalam diri manusia) seperti pendapat Al Hallaj (menyebabkan ia memaklumkan dirinya sebagai “kebenaran” dengan ucapan “anal haq”=Akulah Kebenaran. Al Haq adalah salah satu nama Tuhan. Dengan perkataannya itu berarti ia mengaku,”Akulah Tuhan”).Faham hulul, faham yang menyatakan, bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu sebagai tempat-Nya, setelah sifat-sifat kemanusian dalam tubuh tersebut dihilangkan. Faham hulul dalam tasawuf ditimbulkan oleh Husein Ibnu Manshur al-Hallaj (lahir di Persia th 858 M.) yang mengajarkan, bahwa Allah memiliki dua sifat dasar (natur), yaitu sifat ke-Tuhan-an (lahuut) dan sifat kemanusiaan (nasuuf).
Hal tersebut dilihat dari teori kejadian makhluk-Nya, sebagai berikut :
Sebelum Tuhan menciptakan makhluk,Ia hanya melihat dirinya sendiri. Dalamkesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya. Dialog yangdalam , tidak terdapat dalam kata-kata atau pun huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanya kemuliaan dan ketinggian-Nya dan Dia pun cinta pada Dzat-Nya sendiri. Cinta yang tidak dapat disifatkan dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari banyak dan Ia-pun mengeluarkan dari yang tiada,bentuk (copy) Diri-Nya, yang mempunyai segala sifat dan nama-Nya, dan bentuk (copy) tersebut adalah Adam, dan seterusnya. Setelah Adam tercipta dengan cara-Nya, maka Ia sangat mencintai dan memuliakannya di surga dan sebagai khalifah di bumi-Nya.
Kemudian akibat pendapatannya yang mengandung kemusyrikan itu maka Al-Hallaj yang lahir di Fars,Persi (Iran) 244H/26 Maret 922 M.,di Baghdad di bawah kekhalifahan Abbasiyah, khalifah ke-18 dari 37 khalifah, Al-Muqtadir bi `I-lah (Ja`far Abu `I-fadl, yang berkuasa pada tahun 295-320 H./ 908-932 M.) Selain Al-Hallaj dituduh membawa paham ang menyesatkan (paham hulul), ia juga dituduh mempunyai hubungan dengan Syi`ah Qaramithah, suatu kelompok Syi`ah garis keras yang dipimpin oleh Hamdan bin Qarmat yang menentang pemerintahan Dinasti Abbasiyah sejak Abad ke-10 sampai abad ke-11.
Sumber lain menyebutkan, Abu Mughits Al-Husein bin Manshur Al-Hallaj (244-309 H.) dilahirkan diPersia, seorang cucu dari penganut Zoroaster, dibesarkan di
Irak. Tokoh inilah yang terkenal dengan “hululiyyin” (para penganut paham panteisme) dan “Ittihadiyyin” (para penganut paham manunggaling kawula gusti).Ia dituduh kafir, dibunuh dan disalib karena empat perkara yang dituduhkan kepadanya :
- Karena berhubungan dengan orang-orang Qaramithah (Syi`ah ekstrim).
- Karena ucapannya, “Aku adalah Tuhan yang Haq “.
- Karena pengikutnya meyakini akan ke-Tuhan-an diri-nya.
- Karena pendapatnya tentang haji, bahwa haji ke Baitullah tidak termasuk suatu kewajiban yang harus dilaksanakan.
Tentang kepribadiannya banyak hal-hal yang tidak jelas. Pertama,sikapnya yang sangat keras kepala, membangkang dan ekstrim. Ia mengarang buku ” Al-Thawwasin”, yang diteliti dan diterbitkan kembali oleh Louis Massignon (seorang orientalis ).
Ulama yang hidup pada masa itu diantaranya At-Thabari ahli tarikh/sejarah (w923 M./tidak menemui disalibnya Al-Hallaj 923 M). Al- Asy’ari (260-324 H) ahli ilmu kalam yang pernah berfaham Mu’tazilah selama sekitar 40 tahun, kemudian berubah ke faham yang kini disebut Asy’ariyah Asya’irah, dan kemudian rujuk ke manhaj (jalan) salaf(sahabat, tabi’ien dan tabi’it tabi’in) dengan menyusun kitab Al-Ibanah, kitab tauhid yang manhaj-nya salaf, namun para pengikut kini merujuknya bukan ke salaf tapi ke yang Asy’ariyah yang berdekatan dengan faham Maturidiyah. Beliau wafat tahun 935 M, berarti masih hidup selama tiga tahun setelah disalibnya Al-Hallaj 923 M. Sedang Junaid Al-Baghdadi, mufassir sufi pertama, meninggal tahun 910 M, saat itu Al-Hallaj
baru berumur dua atau tiga tahun, ketika umur 25 tahun Al-Hallaj dibunuh dan disalib di jembatan Baghdad lantaran fahamnya yang dinilai sangat membahayakan Islam.
Dan diantara aqidah sufi yaitu wihdatul wujud (manunggaling kawula Gusti, bersatunya hamba dengan tuhan, lihat pada Bab Nur Muhammad,Hakikat Muhammad, dan wihdatul wujud) di mana tidak ada pemisahan antara khaliq dan makhluk. Inilah aqidah yang terakhir yang tersebar sejak abad ketiga Hijriyah sampai hari ini, dan diterapkan akhir-akhir ini oleh setiap tokoh tasawuf. Yang paling terkenal dalam aqidah ini adalah Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in,At-Tilmasani, Abdul Karim Al-jilli, Abdul Ghani An-Nablisi dan para tokoh tarekat-tarekat sufisme baru pada umumnya.
Ada pula aqidah sufi yang namanya ittihad, yaitu bersatunya seorang sufi (tasawuf) sedemikian rupa dengan Allah SWT setelah terlebih dahulu melalui penghancuran diri (fana) dari keadaan jasmani dan kesadaran rohani untuk kemudian berada dalam keadaan baka`(tetap/bersatu dengan Allah SWT) Paham ittihad pertama kali dikemukakan oleh sufi Abu Yazid al-Bustami (meninggal di Bistam,Iran,261 H/874 M.) Pada suatu waktu dalam pengembaraannya, setelahshalat Subuh Yazid Al-Bustami berkata kepada orang-orang yang mengikutinya,”Innii ana Allah laa ilaaha illaa ana fa`budnii (Sesungguhnya aku ini adalah Allah,tiada Tuhan melainkan aku, maka sembahlah aku).” Mendengar kata-kata itu, orang-orang yang menyertainya mengatakan bahwa al-Bustami telah gila.Menurut pandangan para sufi, ketika mengucapkan kata-kata itu,al-Bustami sedang berada dalam keadaan ittihad, suatu maqam (tingkatan) tertinggi dalam paham tasawuf.
Dalam keadaan ittihad, seorang sufi sering mengucapkan kata-kata yang aneh,seakan-akan ia mengaku Tuhan, seperti yang diucapkan al-Bustami diatas. Al-Bustami juga pernah mengucapkan kata-kata,”Subhani, subhani, ma a`dhama sya`ni (mahasuci aku,mahasuci aku, alangkah maha agungnya aku).” Al-Bustami juga berkata,”Laisa fi al-jubbah illa Allah (tidak ada didalam jubah ini kecuali Allah).” Kata-kata seperti itu disebut syathahat (perkataan aneh-aneh yang keluar dari mulut seorang sufi ketika ittihad, menyatu dengan Tuhan). Dalam pandangan sufi,kata-kata itu bukan keluar dari seorang sufi tetapi kata-kata Allah SWT melalui lisan seorang sufi, tetapi sedang dalam keadaan ittihad. Bukan Dzat Allah SWT yang berbicara, tetapi aspek Allah SWT yang ada pada diri sufi itulah yang sedang berbicara.
Betapa jauh kepercayaan sufi itu dari Islam. Allah SWT disamakan dengan jin atau syetan yang masuk kediri manusia hingga manusianya menjadi kesurupan (majnun), dan bicaranya ngaco (merancu tak karuan), hanya saja dinamakan syathahat yaitu bicara ngaco namun justru dianggap telah mencapai tingkatan tertinggi yang mereka tuduhkan yakni ittihad, menyatu dengan Tuhan.
Na`udzubillaahi min dzaalik, dari aqidah yang amat sesat itu.Hanya saja, aqidah sesat ini ditampilkan dengan nada miring berupa pembelaan samar dibuku yang disebut Ensiklopedia Islam di Indonesia ini, yang ditangani dan ditulis oleh orang-orang IAIN (Institut Agama Islam) Jakarta dan lainnya, yang memang ada seorang profesor yang dikenal sebagai pengajar tasawuf, sekaligus pembela tasawuf.
Pak profesor itu pernah mengajar tasawuf kepada saya dan teman-teman 40-an orang di Jakarta 1997, yang rata-rata mempunyai jama`ah dan keluaran perguruan tinggi Islam dan Insya Allah mampu membaca kitab. Saya katakan pada Pak Profesor tasawuf itu dalam perkuliahan, bahwa tasawuf itu bukan dari Islam,mengotori Islam. Apa itu kasyaf (tersingkapnya hijab, hingga seorang sufi bisa mengetahui hal ghaib) yang dibeberkan Abu Hamid Al-Ghozali (1058-1111 M./505 H.)? Itu bukan ajaran Islam, karena teori itu Jayabaya yang sama sekali bukan orang Islam pun kemungkinan bisa, dengan istilah yang dikenal dengan “ramalan Joyoboyo”. Disamping itu, Al-Ghazali tidak memperhatikan Islam secara penuh. Dia masih hidup selama 25 tahunan ketika perang salib berlangsung (Tantara Salib menduduki Yerussalem th 1076 M,sedang Al-Ghazali hidup 1058-1111 M.),yaitu perang besar dan berkepanjangan antara Muslimin dengan Kristen. Namun sebagai ilmuwan, Al Ghazali tidak terdengar adanya perhatian dia tentang perang jihad yang sangat besar itu, baik itu tulisan ataupun pidato, padahal dia sangat rajin mengarang. Bahkan di Jawa, Sunan Mangkunegoro IV yang diangkat-angkat sebagai orang yang termasuk tokoh sufi (dijadikan tesis untuk doktor di IAIN Jakarta oleh profesor tersebut dengan tema kesufian) ternyata dia (Mangkunegoro IV) itu sendiri jelas-jelas menulis syair yang menyatakan bahwa dirinya tidak sholat.
Jadi tasawuf itu jelas bukan ajaran Islam,bahkan mengotori Islam, tutur saya (penulis).Bagaimana reaksi Pak profesor yang bukan sekedar mengenalkan apa itu sufi, namun memang pembawa ajaran tasawuf itu ? Dengan muka yang cukup tegang (padahal beliau orang Solo Jateng,dan sudah agak tua, yang tampaknya lembut tapi saat itu memerah wajahnya), beliau menunjuk-nunjuk saya sambil berkata,”Anda belajar dimana ?! Keluaran mana ?! lalu belajar apa ?! Dengan suara keras dan mengagetkan teman-teman yang berjumlah 40-an orang dalam ruang kuliah itu. Setelah saya jawab, beliau hanya berseru,” Anda harus banyak belajar lagi !” Ucapan-ucapan beliau itu, diluar perkuliahan dihafalkan oleh seorang teman yang kalau bertemu saya lalu dia praktekkan, dengan menunjuk-nunjuk muka saya, teman itu mempraktekkan kata-kata Pak profesor, kemudian ditutup dengan,”Ini marahnya seorang sufi, kamu harus tahu !” ucapnya sambil tertawa-tawa. Saya pun tertawa saja ketika dicandai begitu.
Pada kesempatan berikutnya, rupanya pertanyaan saya kepada Bapak Profesor itu diambil hati (diperhatikan betul). Kemungkinan beliau lantas membuka-buka referensi atau rujukan kitab-kitab, untuk membantah ucapan muridnya ini. Lalu dalam perkuliahan selanjutnya,beliau menjawab tentang kasus Al-Ghazali tokoh sufi kasyaf, dan Mangkunegoro IV raja kerajaan (kasunanan) Mangkunegaran Surakarta Jateng, yang dipersoalkan tersebut. Kata Pak profesor yang jadi salah satu editor Ensiklopedia Islam yang sedang dikritik ini, Al Gahzali bukannya tidak memeberi perhatian terhadap kegiatan Islam.Buktinya, Al Ghazali juga pernah berkunjung ke Andalus, guna memberikan gelar kepada salah seorang anggota kekhalifahan di Andalus. Adapun Mangkunegoro IV, toh didalam Kitab Nailul Authar disebutkan bahwa sholat itu bisa dijama`. Nah Mangkunegoro IV itu sebelumnya dia “nyantri” dipesantren, lalu dipanggil untuk menjadi pegawai diKerajaan, jadi sibuk. Memang dalam dua baris syairnya,Mangkunegoro IV menyebutkan dirinya tidak sholat.Tak tahulah. Saya dan teman-teman tidak bisa menjangkau jawaban Pak Profesor itu. Apa hubungannya antara sholat boleh dijama` dengan tidak sholatnya Mangkunegoro IV, dan apa hubungannya antara perhatian yang dituntut oleh Islam dengan bertandangnya Al Ghozali untuk memberi gelar seorang anggota kekhalifahan di Andalus ? Yang bisa dijangkau hanyalah gumam yang kewetu (terlanjur keluar) dari lisan Pak profesor, bahwa beliau ketika diuji tesisnya untuk doktor (tentang Mangkunegoro IV kaitannya dengan tasawuf ) di IAIN Jakarta tidak sampai pertanyaan yang dicecarkan oleh muridnya ini.
Pada lain kesempatan, saya ceritakan hal tersebut kepada seorang teman. Lalu teman saya bercerita pula tentang model jawaban “marah” dari “syaikh” sufi yang pernah dia saksikan ketika mendapatkan kesempatan untuk penataran dai` International di Al Azhar Mesir selama 3 bulan. Dalam suatu perkuliahan, ada peserta (dai`) dari Bangladesh yang mengkritik tasawuf. Lantas guru yang “syaikh” sufi tidak menjawab kritikan itu dengan jawaban yang berkaitan dengan kritikan, namun hanyalah marah-marah disertai kata-kata,”Dinegrimu banyak masalah. Urusi itu. Tidak usah kamu mengkritik-kritik tasawuf. Urusan dinegrimu saja banyak sekali. Itu yang harus kamu urusi.” Entah kenapa, kok ada kemiripan sesama guru besar tasawuf baik yang ada di Jakarta maupun di Cairo, kalau dikritik tasawufnya lalu marah-marah, dan jawabannya ngaco (tidak relevan). Disamping itu ada kemiripan kenyataan pula, yang sekolah jauh-jauh ke Al Azhar Mesir atau Pasca Sarjana IAIN Jakarta tahu-tahu dimasyarakat menyebarkan tasawuf. Tidak semuanya, tetapi bisa dibilang jarang sekali yang kritis terhadap sufisme. Sebagai bukti, profesor di IAIN Jakarta tersebut bukannya mengkritik Mangkunegoro IV yang tidak sholat, tetapi malahan mencari-carikan jawaban dengan mengemukakan bolehnya sholat jama` (digabung antara Dhuhur dengan Ashar, Maghrib dengan Isya`). Padahal antar keduanya (tentang tidak sholat dan bolehnya sholat jama`) itu tidak ada kaitannya.Perlu ditambahkan, saya menuturkan ini karena sering mendapatkan kesempatan untuk menyaksikan ujian doktor di IAIN Jakarta, termasuk ujian beliau (yang jadi Ensiklopedia Islam itu), beberapa tahun sebelum saya ajukan pertanyaan tersebut. Ujian itu seperti biasanya,selalu dihadiri oleh Prof.Dr.Harun Nasution, dekan Pasca Sarjana IAIN Jakarta, sebagai salah satu penguji.
Berkali-kali saya bertugas meliput ujian doktor semacam itu, karena ditugaskan oleh kantor redaksi atas undangan IAIN Jakarta untuk meliputnya.Apa yang kewetu dari lisan Pak profesor bahwa ketika ujian justru tidak ada pertanyaan yang mencecar seperti itu, memang betul. Karena Harun Nasution sebagai dekan memang sudah dikenal arah pemikirannya secara umum adalah mengarah kepada Mu`tazilah, filsafat, dan sufisme. Untuk mengarahkan agar kenal dengan faham Mu`tazilah, misalnya Harun Nasution menanya kepada calon doktor yang diuji,”Apa makna yahdillaahu man yasya ?” Lalu sicalon doktor menjawab,”Allah SWT memberipetunjuk kepada orang yang Allah SWT kehendaki.” Kemudian disahut oleh Harun Nasution ,”Itu makna menurut ahlus Sunnah. Kalau menurut Mu`tazilah ? Bila calon doktor tak bisa menjawab, maka dituntun oleh Harun Nasution,”Allah memberi petunjuk kepada orang yang orang itu sendiri menghendaki. Jadi yasya` itu dhomir-nya/kata gantinya kembali kepada “man” yaitu orang itu sendiri”.Lantas calon doktor itu tampaknya seperti kerbau yang dicocok hidungnya (maaf).
Meskipun sebenarnya dalam ujian yang saya saksikan itu ada penguji yang jeli dan mempertanyakan pula tentang shalat atau tidaknya Mangkunegoro IV, namun wibawa dekan yakni Harun Nasution yang sudah bisa dimengerti bahwa sufisme ini jelas-jelas dia dukung, ataupun kondisi saat itu bisa diatur oleh sang ketua Ujian, maka pertanyaanpun tak sampai menukik benar. Bahkan saya saksikan, pembangkitan kembali peninggalan Mangkunegoro IV yang pembahasannya dikaitkan dengan sufisme (kedua-duanya ini sebenarnya sudah terkubur, tapi kemudian digali kembali oleh tangan-tangan yang kemungkinan mengotori Islam) itu, mendapat sambutan yang baik dalam ujian tersebut. Dari sini bisa difahami, misi Harun Nasution dan murid-muridnya yang kurang lebihnya adalah sekulerisme, liberalisme berfikir, dan pluralisme (tidak boleh mengakui bahwa Islam sajalah yang benar) dicampur sufisme memang mendorong dimunculkannya ajaran-ajaran yang tidak jelas seperti tesis yang diujikan dan mendapatkan sambutan yang baik tersebut.
Dan salah satu sarana yang disisipi misinya untuk disebarkan adalah Ensiklopedia Islam, yang teman saya mengaku termasuk orang yang diberi proyek untuk menulis itu oleh Harun Nasution, hingga cukup untuk membiayai kuliahnya hingga mencapai doktor.Pantaslah kalau penggalian kembali tulisan Mangkunegoro IV tersebut dihargai, karena misinya sama dengan misi orientalis seperti Louis Massignon dan lain-lainnya yang mengggali kembali peninggalan-peninggalan tasawuf yang telah terkubur lalu ditampilkan lagi dan dicetak. Untuk apa ? untuk kepentingan orientalis yang kaitannya erat sekali dengan penjajahan terhadap umat Islam sedunia dan mengotori Islam, melemahkan serta merancukan.Dan misi itupun dilanjutkan oleh Harun Nasution dan pemerintahan Orde Baru dengan mentri-mentri agama: Mukti Ali, Munawir Sjadzali, Tarmidzi Taher,dan dijaman reformasi setelah jatuhnya Presiden Suharto adalah mentri Agama Malik Fajar, yang mereka itu menggencarkan pengiriman dosen-dosen IAIN ke negri Barat untuk belajar “Islam” warisan orientalis. Adapun Mentri Agama Alamsjah Ratuperwiranegara tak begitu terdengar apakah ia menggencarkan atau tidak, walau masanya setelah Mukti Ali. Sedang Quraisy Shihab yang menjadi mentri Agama selama 70 hari saja, walau alumni Al Azhar Mesir namun tidak tampak mencoba untuk membendung arus Harun Nasution yang pro-orientalis.Bahkan sebelumnya, ketika Quraisy menjadi Rektor IAIN pun tidak ada gaungnya alias tidak terdengar membendung Harunisme.
Ketika buku ini ditulis, yang duduk sebagai dekan Pasca Sarjana IAIN Jakarta adalah Prof.Dr. Said Aqil Al-Munawar, seorang yang hafal Al Qur`an dan berguru Hadits ke Syaikh Yasin Al-Padangi di Makkah. Ustadz Aqil ini dari kalangan NU, beliau hafalannya kuat. Ketika saya sempat diajari ilmu Hadits dalam perkuliahan, beliau sering sekali menyebut nama Abdul Fattah Abu Ghuddah (tokoh Ikhwanul Muslimin Syuriah, ada yang menggolongkan sufi juga). Apakah Pak Aqil mendukung orientalis juga dan mendukung sufi, belum bisa saya berkomentar. Yang jelas,terhadap sufi tentu tidak seperti tulis dan saya ini. Sedang Mentri Agama angkatan Presiden Gur Dur September 1999 adalah Thallah Hasan, konon orang NU. Belum terdengar adanya penyetopan terhadap pengiriman dosen-dosen IAIN ke Barat untuk belajar Islam alias sufisme yang diprogramkan orientalis dan Yahudi. Apalagi Gus Dur justru dikenal sebagai orang yang dari awalnya pro-Yahudi Israel dan bersuara miring terhadap gerakan Islam murni. Jadi, paling kurang,program yang berbau orientalis dan Yahudi kemungkinan akan dilindungi oleh Gus Dur. Disamping itu, sekalipun Harun Nasution sudah meninggal dunia namun kader-kadernya telah banyak, dan programnya telah berjalan.
Meskipun demikian, kebatilan yang mereka usung secara sistematis dan dibiayai oleh duit Muslimin lewat negara, insya Allah akan hancur juga, karena gelombang anti kolonialis, anti filsafat, anti tasawuf, anti bid`ah, anti orientalis yang menyesatkan, dan anti aneka tipuan Yahudi; semakin merebak. Diantara bukti nyata, gagasan reaktualisasinya Munawir Sjadzali, mentri agama yang lama, yang ingin mengubah hukum waris Islam, dari 2:1 antara bagian laki-laki dan perempuan menjadi 1:1;karena Munawir yang menganggap hukum Islam tentang waris itu tidak adil, ternyata gagasan itu luntur dengan habisnya masa jabatan kementrian beliau 1993.
Mengenai pembelaan samar terhadap tasawuf dalam buku Ensiklopedia itu bisa kita simak kutipan darinya sebagai berikut: “Paham-paham ittihad, hulul ataupun wahdah al wujud ini dipandang sesat dan menyesatkan oleh ulama-ulama syari`at. Oleh sebab itu, para penulis tentang tasawuf atau sufi pada abad ketiga dan keempat Hijriyah (masa subur dan berkembangnya paham tasawuf), seperti Abu Bakar Al-Kalabadi (w 380 H.) dan Abu Qasim Abdul Karim Al Qusyairi (w 465 H.), enggan menulis masalah-masalah tersebut. Uraian mengenai hal ini dapat dijumpai dalam tulisan-tulisan kaum orientalis. Kemudian penulis Islam pun tergerak kembali hasratnya untuk mengungkapkan khazanah lama miliknya itu.” Bagaimana buku itu menggambarkan seakan tasawuf itu suatu yang berharga sekali dan sayang kalau hilang, ditulis dalam baris-baris kutipan terakhir tersebut. Istilah yang dikemukakan pun tampak dibuat sedemikian rupa, hingga para ulama pun disebut “ulama-ulama syari`at”, seakan Islam itu tidak komplit kalau tidak pakai tasawuf.Sedang para ulama yang ahli hadits, fiqh, tafsir dan sebaiknya yang tentu saja faham benar tentang sesatnya tasawuf, disebutnya ulama-ulama syari`at.
Telah disebutkan diatas, bagaimana Imam Ahmad bin Hanbal menasehati murid-muridnya agar tidak mendekati orang-orang sufi. Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah seorang yang termasuk imam empat yang sangat terkenal, yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi`I, dan Imam Hanbali. Dalam pembicaraan ilmu, hampir tak pernah mereka itu disebut ulama syari`at (untuk maksud bahwa ada ulama tasawuf) seperti penyebutan dalam Ensiklopedia itu, tetapi adalah imam (madzhab) yang empat, artinya mereka itu ulama, yang tingkatannya mujtahid mutlak, orang yang mampu berijtihad (mencurahkan pikiran untuk menentukan hukum syara` yang tidak ada dalam nash/teks ayat ataupun hadits) tanpa bersandar dari orang lain. Sehingga,ulama-ulama belakangan yang meneruskan ilmu para mujtahid atau imam madzhab tersebut, sebenarnya tidak perlu disebut ulama syari`at .Cukup disebut ulama. Namun orang sufi menyebutnya ulama syari`at karena dianggap tidak mengetahui yang batin atau yang ghaib. Padahal Nabi SAW sendiri tidak mengetahui yang ghaib, bahkan jelas-jelas menegaskan bahwa Nabi SAW tidak tahu apa yang diperbuat Allah SWT untuk Nabi SAW sendiri esok (lihat dalam Bab Aqidah). Allah SWT berfirman,
“Katakanlah ! Tidak ada yang dapat mengetahui perkara yang ghaib dilangit dan dibumi kecuali Allah .dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan” (An-Naml:65)
Ada sebagian delegasi yang datang ke Nabi SAW, mereka menganggap bahwa Nabi SAW termasuk orang yang mengaku bisa melihat yang ghaib, maka mereka menyembunyikan sesuatu didalam (genggaman) tangan mereka untuk beliau. Dan mereka berkata kepada beliau,” Kabarkanlah kepada kami, apa dia (yang ada dalam gemgaman kami ini) ? Lalu beliau menjawab kepada mereka dalam keadaan berteriak, “Aku bukan seorang dukun. Sesungguhnya dukun dan perdukunan serta dukun-dukun itu didalam neraka.” ( Diriwayatkan Abu Daud: 286 ). Kembali kepada buku tersebut, untuk menegaskan satu sikap dari satu buku, atau pun untuk mengemukakan bahwa sufi itu juga perlu dianggap bahwa disana ada ulamanya, maka maksud-maksud itu bisa dibaca pula.
Sebagaimana Abdurrahman Abdul Khaliq dalam bukunya yang menyoroti sufi itu menyebut sufi sebagai ad-dien as-shufi (agama sufi),bukan sekedar aliran sufi, karena memang sufi ataupun tasawuf dinilai sebagai diluar agama Islam. Hanya saja bedanya, pihak yang satu (pembela sufi) ingin mendorong agar sufi atau tasawuf dimasukkan ke Islam, sedang pihak yang lain (penolak sufi) menjelaskan dengan bukti-bukti dan dalil bahwa sufi atau tasawuf itu diluar Islam. Kalau sudah demikian, maka jalan keluarnya, kita ikuti perintah Allah SWT ,
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (An-Nisaa`:59)
Coba kita kembalikan kepada Al Qur`an atau Sunnah Rasul, apakah memang aqidah sufi itu cocok. Aqidah sufi terutama ittihad, hulul,dan wihdatul wujud itu sudah mencampuri urusan ke-ghaib-an yang tertinggi, yaitu Dzat Allah SWT, padahal Nabi SAW telah menjelaskan ;”Demi Allah, sesungguhnya aku ini pasti utusan Allah SWT, (tetapi) aku tidak tahu apa yang akan Allah SWT kerjakan padaku esok.”(Diriwayatkan Al Bukhari dalam Fathul Bari;dan riwayat Imam Ahmad dari Ummul `Ala`Al-Andhariyah dengan semacamnya).
2. Aqidah Sufi Mengenai Rasulullah SAW
Sufisme dalam hal mempercayai Rasulullah SAW juga ada bermacam-macam aqidah. Diantaranya ada yang menganggap bahwa Rasulullah SAW tidak sampai pada derajat dan keadaan mereka (orang-orang sufi). Dan Nabi SAW (dianggap) jahil (bodoh) terhadap ilmu tokoh-tokoh tasawuf seperti perkataan Busthami,” Kami telah masuk lautan, sedang para nabi berdiri ditepinya.” Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, pengarang kitab Ila At-Tashawwuf ya`Ibadallaah menisbatkan perkataan tersebut kepada At-Tijani (pendiri tarekat At-Tijaniyah). Lalu Al-Jazairi berkomentar bahwa kelanjutan ucapan At-Tijani ini bahwa quthub-quthub (wali-wali yang ada dikutub-kutub dunia) sufi itu menurut pendapat mereka lebih tahu dibanding nabi-nabi tentang Allah SWT dan lebih mengerti tentang syari`at-Nya yang mengandung kecintaan dan kemarahan.” Bukankah (kepercayaan) ini merupakan kekafiran wahai hamba-hamba Allah SWT ?” komentar Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Khatib Masjid Nabawi Madinah. Diantara mereka (orang-orang sufi) ada yang mempercayai bahwa Rasulullah SAW itu adalah kubah alam, dan dia itulah dan dia itulah Allah yang bersemayam diatas arsy; sedangkan langit-langit, bumi, arsy, kursi, dan semua alam itu dijadikan dari nurnya (Nur Muhammad), dialah awal kejadian, yaitu yang bersemayam diatas Arsy Allah SWT. Inilah aqidah Ibnu Arabi dan orang-orang yang datang setelahnya/pengikutnya.
3. Aqidah Sufi Mengenai Wali-wali
Sufisme dalam hal wali-wali juga mempercayai dengan kepercayaan yang bermacam-macam. Diantara mereka ada yang melebihkan wali-wali diatas nabi. Pada umumnya orang sufi menjadikan wali itu menyamai/sejajar dengan Allah dalam segala sifatnya, maka ia ( wali ) itu mencipta,memberi rezki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur alam.
Orang sufi membagi-bagi wali menjadi beberapa bagian, ada yang disebut wali Al-Ghauts yang mempunyai kemauan sendiri dalam segala sesuatu didunia ini, dan ada empat wali Kutub yang memegangi pojok-pojok yang empat didunia ini atas perintah wali Al-Ghauts. Dan ada wali Abdal yang tujuh, masing-masing mempunyai kekuasaan disatu benua dari tujuh benua atas perintah wali Al-Ghauts. Dan ada wali Nujaba`, yang mereka itu memiliki kekuasaan dikota-kota setiap wilayah dikota. Dikota-kota, demikianlah seterusnya, maka jaringan wali-wali Internasional ini menguasai makhluk, dan mereka punya dewan tempat mereka berkumpul yaitu di Gua Hira`, setiap malam mereka melihat taqdir.
Pendek kata, dunia perwalian (sufi) itu adalah dunia khurafat (kepercayaan yang menyeleweng dari kemurnian Islam) total. Ini otomatis berbeda dengan kewalian dalam Islam yang ditegakkan diatas agama dan taqwa, amal shaleh dan ibadah yang sempurna kepada Allah, dan membutuhkan (pertolongan) Allah SWT. Sebenarnya wali itu tidak bisa mengurusi urusan dirinya sendiri (untuk mendatangkan manfaat dan mudharat) sedikitpun, lebih-lebih untuk menguasai orang lain. Allah SWT berfirman :
“Katakanlah,`Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan suatu kemadharatan pun kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfaatan`.” (Al-Jinn:21)
Sebagian cerita yang dikisahkan orang-orang sufi memang terjadi,namun bercampur dengan sihir, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam bukunya yang berjudul Al-Furqan baina Auliya`ir Rahman wa Auliya`is Syaithan (Perbedaan antara wali-wali Tuhan dan wali-wali Syetan). Buku ini muncul waktu orang-orang mencampur adukkan antara sihir dan karamah. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagian orang musyrik, baik dari Bangsa Arab, India, Turki,Yunani maupun bangsa lain, mempunyai kegigihan dalam bidang ilmu,kezuhudan, dan ibadah; namun mereka tidak mengikuti dan tidak beriman kepada para Rasul, dan tidak membenarkan berita-berita yang Rasul bawa, dan tidak mentaati perintahnya.
Orang-orang seperti itu bukanlah orang-orang yang beriman, dan bukan pula wali-wali Allah SWT. Mereka adalah orang-orang yang dihubungi oleh syetan-syetan.Mereka dapat mengungkapkan beberapa perkara gaib, mereka memiliki beberapa perilaku luar biasa yang merupakan bagian dari sihir.Mereka itu adalah tukang sihir yang dihampiri syetan-syetan. Allah SWT berfirman,
” Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa syetan-syetan itu turun ?
Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa. Mereka
menghadapkan pendengaran (kepada syetan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta.” (As-Syu`ara:221-223)
Mereka bersandar kepada, mukasyafat (penyingkapan perkara-perkara yang ghaib) dan hal-hal yang luar biasa. Apabila mereka tidak mengikuti Rasul, tentu amalan-amalan mereka mengandung dosa seperti kemusyrikan, kedzaliman, kekejian, sikap berlebihan, atau bid`ah dalam ibadah. Mereka dihampiri dan didatangi syetan-syetan, sehingga mereka menjadi wali-wali syetan, bukan wali-wali Ar-Rahman (Tuhan). Allah SWT berfirman,
” Barang siapa yang berpaling dari pengajaran (Allah) Yang Maha Pemurah (Al
Qur`an), kami adakan baginya syetan (yang menyesatkan), dan syetan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Az-Zukhruf:43:36)
Pengajaran Allah SWT adalah pengajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya, yakni Al Qur`an.Barang siapa tidak beriman kepada Al Qur`an, tidak membenarkan beritanya, dan tidak meyakini kewajiban perintahnya, berarti dia telah berpaling dari Al Qur`an, kemudian syetan datang menjadi teman setia baginya.
Seseorang yang selalu berdzikir kepada Allah SWT, baik malam maupun siang, disertai dengan puncak kezuhudan dan kesungguhan beribadah kepada-Nya, namun tidak mengikuti dzikir yang Allah SWT turunkan,yakni Al Qur`an, maka dia termasuk wali syetan, meskipun dia mampu terbang diangkasa atau berjalan diatas air. Syetanlah yang membawanya ke angkasa sehingga ia mampu terbang.
4. Aqidah Sufi Mengenai Surga dan Neraka
Mayoritas orang sufi (menurut Abdurrahman Abdul Khaliq, semuanya) berkeyakinan bahwa menuntut syurga merupakan suatu aib besar. Seprang wali tidak boleh menuntutnya (mencari syurga) dan barang siapa menuntutnya, ia telah berbuat aib.Menurut mereka yang patut dituntut adalah al-fana` (menghancurkan diri dalam proses untuk menyatu dengan Allah) yang mereka klaim (da`wakan) terhadap Allah, dan melihat keghaiban, dan mengatur alam.Inilah syurga orang sufi yang mereka klaim.
Adapun mengenai neraka, orang sufi berkeyakinan juga bahwa lari darinya itu tidak layak bagi orang sufi yang sempurna. Karena takut dari neraka itu watak budak bukan orang-orang merdeka. Diantara mereka ada yang berbangga diri bahwa seandainya ia meludah keneraka pasti memadamkan neraka, seperti kata Abu Yazid Al-Busthami. Dan orang sufi yang berkeyakinan dengan wihdatul wujud (menyatu dengan Tuhan), diantara mereka ada yang mempercayai bahwa orang-orang yang memasuki neraka akan merasakan kesegaran dan kenikmatannya, tidak kurang dari kenikmatan syurga, bahkan lebih. Inilah pendapat Ibnu Arabi dan aqidahnya. Seperti disebutkan dalam buku Ibnu Arabi,Fushushul Hukm.
Orang jahil dimasa kita sekarang kadang menyangka bahwa aqidah mengenai syurga (model sufi) ini adalah aqidah yang tinggi, yaitu manusia menyembah Allah tidak mengharapkan syurga dan tidak takut neraka. Ini tidak diragukan lagi jelas meneyelisihi aqidah kita yang terdapat dalam Al Qur`an dan As Sunnah. Allah telah mensifati keadaan para nabi dalam ibadah mereka bahwa :
” Mereka berdoa kepada kami dengan harap (roghoban) dan takut (rohaban). Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu”. (Al-Anbiyaa`:90)
A-roghob yaitu mengharapkan syurga Allah S.W.T dan keutamaan-Nya, sedang ar-rohab yaitu takut dari siksa-Nya, padahal para Nabi itu adalah sesempurna-sempurnanya manusia (segi) aqidahnya,keimanannya dan keadaannya.Dan landasan dari As Sunnah, perkataan seorang Arab Badui kepada Rasulullah, “Wallahi, sungguh aku tidak bisa mencontoh dengan baik bacaan lirihmu (dan danik suara tak terdengarmu) dan bacaan lirih Mu`adz. Namun hanya aku katakan,`Ya Allah, aku mohon syurga kepada-Mu, dan berlindung kepada-Mu dari neraka.` Lalu Rasulullah berkata,`Sekitar itu juga bacaan lirih kami`.” (Diriwayatkan Ibnu Majah)
Keadaan yang diupayakan oleh orang-orang sufi untuk mewujudkan yaitu beribadah kepada Allah tanpa mengharapkan syurga dan tanpa takut akan neraka, maka menyeret mereka kepada bencana. Mereka berusaha kepada tujuan yang lain dengan ibadah yaitu yang disebut fana` (meleburkan diri) dengan Tuhan dan ini menyeret mereka kepada al-jadzdzab (merasa melekat dengan Tuhan), kemudian menyeret mereka pula kepada al-hulul (inkarnasi/penjelmaan Tuhan dalam diri manusia), kemudian menyeret mereka pula pada puncaknya kepada wihdatul wujud (menyatunya Tuhan dengan hamba/manunggaling kawula Gusti)
5. Aqidah Sufi Mengenai Iblis dan Fir`aun
Mengenal iblis,kebanyakan orang sufi,khususnya para penganut kepercayaan wihdatul wujud,berkeyakinan bahwa iblis adalah hamba yang paling sempurna dan makhluk yang paling utama tauhidnya. Karena menurut anggapan mereka,iblis tidak mau sujud kecuali kepada Allah.Dan mereka mengklaim bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosa iblis dan akan memasukkannya ke syurga.Demikian pula anggapan mereka,Fir`aun adalah seutama-utamanya ornag yang mentauhidkan (mengesakan) Allah (muwahidien).Karena Fir`aun berkata,”Saya adalah Tuhanmu yang tertinggi”,maka ia mengetahui hakikat,karena setiap yang wujud itu adalah Allah,kemudian dia (Fir`aun) menurut klaim mereka,telah beriman dan masuk syurga.
Sumber https://groups.google.com/forum/#!topic/soc.culture.usa/pYVG5SLcIBs
Assalam’alaikum ustad, belakangan ini di daerah sy mendengar ada satu kelompok zikir yang mendalami ilmu tarekat. di dalamnya terdapat ritual zikir yang sebelum kita berzikir kita terlebih dahulu di suruh mengingat/membayangkan mursyid/ guru.dalam seminggu rutin di laksanakan 2 kali setiap malam selasa dan malam jumat.apakah ritual wirid/ zikir ini sesuai ajaran islam Quran / Sunnah, mohon penjelasannya
terima kasih, wassalam’alaikum wr wb
Kasian yg punya tulisan,cape2 berusaha utk memahami lautan tasawuf,tapi yg didapat adalah bodoh dan jahil,..dunia tasawuf yang luas dan dalam hanya dipandang dari sudut yg sempit dari pengalaman penulisnya,…apalagi dengan memakai alasan dari Ibnu taimiyah,…padahal taimiyah sendiri tak lepas dari kekacauan fikiran ketika mendefinisikan Ketuhanan,…kecuali anda wahai penuis adalah seorang Wahaby,.. maka sdh kodratnya untuk menjadi kepala Batu,..
anda hanya becerita kata orang….ap bedanya dg beo….pandai bicara….tak mengerti makna……amalan baru secuil sudah lebih hebat dari abu yazit…..biar saudara tau abu yazit itu sudah shalat malam mulai dari anak sampai berpulang kerahmatullah…..anda sendiri baru pandai baca buku ibnu taimiyah sudah bisa menuduh muslim sebagai musrik…..apakah ini gambaran ustad sekarang……subahanallah.
Keroncong dan Ali, mengapa harus mengumpat/menuduh dengan kasar? Sebaiknya sebelum menulis, tenangkan dulu pikiran, tokh website-nya tidak kemana-mana bukan?. Kalau Anda memang mendalami ilmu tasawuf, silahkan saja. Saran saya cuman hati-hati supaya tetap berpegang teguh pada Al-Quran dan hadits.
Terimakasih atas pencerahannya. Mengapa tasawuf merasa lebih hebat dari Rosul?
[…] yg didapat adalah bodoh dan jahil,..dunia tasawuf yang luas dan dalam hanya dipandang dari … Download PERBEDAAN POKOK AJARAN ISLAM DAN TASAWUF | Pondok Tadabbur […]
[…] … ia juga dituduh mempunyai hubungan dengan … ahli ilmu kalam yang pernah … Download PERBEDAAN POKOK AJARAN ISLAM DAN TASAWUF | Pondok Tadabbur […]
[…] kelompok zikir yang mendalami ilmu tarekat. di dalamnya terdapat ritual zikir yang sebelum … Download PERBEDAAN POKOK AJARAN ISLAM DAN TASAWUF | Pondok Tadabbur […]
[…] yg didapat adalah bodoh dan jahil,..dunia tasawuf yang luas dan dalam hanya dipandang dari … Download PERBEDAAN POKOK AJARAN ISLAM DAN TASAWUF | Pondok Tadabbur […]
[…] perbedaan itu mengenai hal yang sangat mendasar. Yaitu perbedaan dalam hal sumber … Download PERBEDAAN POKOK AJARAN ISLAM DAN TASAWUF | Pondok Tadabbur […]
[…] perbedaan itu mengenai hal yang sangat mendasar. Yaitu perbedaan dalam hal sumber … Download PERBEDAAN POKOK AJARAN ISLAM DAN TASAWUF | Pondok Tadabbur […]
Penulis Artikel ini (A.Nizami) ibarat “melihat orang minum Jamu”!
“wuek….. dasar tolol minuman sudah Pahit, Ga Enak pula diminum!”
Itulah pandangn Orang BODOH!
Dia hanya bisa melihat dan Berprasangka Buruk!
cobalah kau Minum dan RASAKAN EFEKNYA!!!
Jangan TAKUT (belajar Tasauf/berthariqat)!!!
Ilmu Sihir Saja boleh di PELAJARI!!!
“ASAL JANGAN DI PRAKTEKKAN!!!”
Jika memang terbukti menyimpang dari Qur’an dan Sunnah maka TINGGALKANLAH!!!
cobalah baca riwayat hidup AL-GAZALI
Dulu beliau juga begitu, PENENTANG TASAUF (Thariqat)!!!
Tapi apa yang terjadi kemudian!!! beliau berbalik 180 drajat!!!
Maka lahirlah karya beliau Kitab IHYA’ itu ( sbg jembatan Syariat ke Tasauf).
INI NASEHAT BELIAU UNTUKMU!!!
“…. Maka keyakinanmu bahwa engkau lebih baik dari orang lain adalah kebodohan yang fatal. Oleh karena itu sebaiknya engkau tidak melihat siapapun kecuali engkau menganggap ia lebih baik darimu, dan bahwa kelebihan dan keutamaan ada padanya, bukan pada dirimu yang penuh kekurangan. Jika melihat anak kecil katakanlah didalam hatimu, “Dia ini tidak banyak maksiat kepada Allah karena masih kecil sedang aku banyak maksiat kepada-Nya, maka jelas ia lebih baik dariku. Jika engkau melihat orang tua berkatalah, “Orang ini menyembah Allah sebelum diriku, maka jelas ia lebih baik dariku. Jika engkau melihat orang lain katakanlah, “Orang ini dikaruniakan sesuatu yang aku tidak mendapatkanya, dia telah mencapat tingkatan yang aku belum mencapainya dan megetahui ilmu yang aku belum memahaminya, maka bagaimana aku merasa sama dengannya?”. Jika engkau melihat orang bodoh katakanlah, “Orang ini bermaksiat kepada Allah karena kebodohanya, sedangkan aku bermaksiat kepada Allah padahal aku berilmu, karenanya alasan Allah untuk menyiksaku lebih kuat, apalagi aku tidak tahu akhiranku dan akhiranya!? dengan alasan apa aku merasa lebih baik dari dirinya?”. Bahkan jika engkau melihat orang kafirpun katakanlah, ” Aku tidak tahu, mungkin saja dia akan masuk islam dan diakhiri usianya dengan kebaikan, mungkin dia akan terlepas dari dosa seperti tercerabutnya rambut dari bubur, sementara aku belum jelas, aku masih khawatir Allah akan menyesatkan aku lalu aku menjadi
kafir dan diakhir hidupku dengan keburukan. Dengan demikian, mungkin saja dia menjadi orang yang dekat dengan Allah, sedang aku menjadi orang yang jauh dari-Nya. lalu dengan dalil apa aku merasa lebih baik darinya!
Oleh karena itu, lebih baik engkau sibuk memikirkan akhir kehidupanmu daripada sombong kepada hamba2 Allah yang lainnya. Tidak ada jaminan bahwa keyakinan dan keimanan yang kau miliki sekarang tidak akan berubah dilain waktu yang akan datang, karena sesungguhnya hanya Allah lah yang Maha menggenggam hati dan membolak balikanya, Dia memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki dan menyesatkan orang yang Dia kehendaki pula..”.
Kamu hanya bisa MENCELA, sedangkan mereka yang engkau cela sedang BERDZIKIR!
Adakah sama orang yang berbuat baik dengan yang tidak baik?
“Hanya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu.
(QS. Yusuf;83)
Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan) ? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya… (QS. fatthir;8)
“Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang BERAKAL, agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah;100)
Iya benar anda harus banyak belajar lagi sebelum mengomentari guru and
Iya benar anda harus banyak belajar lagi sebelum mengomentari guru anda
Tasawuf mah sok rumit, biar kelihatan pinter, pokoknya klo Nabi dan para sahabat nggak lakukan, berarti itu dari luar islam, dzikir 10x pahala bisa jutaan klo sesuai sunnah Nabi, tapi 1000.000 dzikir sama dengan -3000.000 klo ga sesuai tuntunan, ada ucapan ulama bermakna” sederhana sesuai sunnah jauh lebih baik dari bersungguh sungguh dalam bid’ah”
Tapi biasa orang yg sudah jadi agen setan, klo dinasehati malah kita yg menasehati seolah melakukan kejahatan terbesar, tapi tidak masalah, sudah gugur kewajiban.