PRO DAN KONTRA DZIKIR BERJAMAAH

You may also like...

7 Responses

  1. Yessy says:

    Subhanallah,,,

  2. Sulis Patria says:

    Subhanallah. terima kasih Pak.

  3. komarudin says:

    Mohon Koreksi ketika saya ada khilaf…
    Alasan mereka yang mendukung dzikir berjamaah

    dari keterangan hadist yang saya baca diatas berdzikir bisa berjamaah tapi tidak menunjukkan sedang bedzikir dengan suara keras dan tidak menunjukkan ada komando dari imam.
    tidak sepeti yang selama ini kita lihat dzikir dengan komando dan dengan suara yang keras
    namanya saja dzikir mesti dengan suara yang lembut.

    • Fadhil ZA says:

      assalamu alikum
      Masalah berdzikir dengan jahar atau sir dikomando atau tidak itu adalah penafsiran masing masing orang , disitulah timbulnya pro dan kontra. Sebaiknya kita kerjakan apa yang kita yakini dan legowo menerima perbedaan pendapat. Biarkanlah saudara kita mengerjakan apa yang mereka yakini , dan kerjakanlah apa yang kita yakini pula. yang tidak benar menurut al Qur’an adalah orang yang meninggalkan dzikir sama sekali.

  4. Betrizon says:

    Setuju Pak Ust dengan uraian di atas. Kalau lah kita mau menyadari bahwa rambut yang sama2 hitam akan tetapi ilmu dan pemahaman boleh2 saja berbeda dan tidak memaksakan kehendak kita kepada orang lain dan kita saling menghargai, maka insya allah tidak akan ada perpecahan diantara umat islam ini. Selagi pemahaman itu tidak bertentangan dengan sunah rasul dan al-quran nur qarim..

  5. Mengenai maraknya Dzikir bersama dengan suara keras bersama – sama menjadikan kami untuk dapat mengkritiknya dengan bersandar pada dua hal : Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Perintah dzikir di kalangan para Imam dan Ulama tidak terjadi perbedaan dan juga dalam dalilnya.
    Bagi kami yang menjadi masalah adalah dalam bentuk dzikir yang disyari’atkan (Kaifiyahnya).

    Dalam hal ini Allah SWT, telah berfirman dalam surat Al-A’raf : 55 ;

    Berdo’alah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

    Al-Hadits yang diriwayatkan dari jalan Abu Musa Al-Asy’ari, rahimahullah, ia berkata, “Kami bersama Rasulullah SAW dalam sebuah safar. Lalu orang-orang menyaringkan suara takbir mereka. Rasulullah saw, bersabda :

    “Pelankanlah suara-suara kalian. Sesungguhnya kalian tidaklah menyeru Rabb yang tuli dan ghaib. Kalian menyeru Rabb Yang Maha Mendengar lagi Maha dekat, dan Dia bersama kalian.”
    Hadits ini merupakan tafsir dari ayat di atas. Para sahabat ra, tidak menyuarakan takbir bersama-sama dengan satu suara. Bahkan Rasulullah saw melarang mereka mengangkat suara dan menganjurkan supaya
    mereka mengamalkan kandungan ayat di atas. Dan telah dinukil dari Shalafush Shalih larangan berkumpulnya untuk berdzikir dan berdo’a seperti berkumpulnya kaum ahli bid’ah. Dan dinukil pula dari mereka larangan mendatangi masjid-masjid yang digunakan untuk tujuan tersebut. Itulah yang mereka sebut ribath dan shuffah. Larangan ini disebutkan oleh Ibnu Wahab, Ibnu Wadhah dan yang lainnya.
    Penjelasan mereka itu sudah cukup bagi siapa saja yang Allah beri taufik.
    Sebagian dari mereka berbaik sangka, dengan mengira bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar. Dan berburuk sangka terhadap Shalafush Shalih yang merupakan ahli amal yang kuat dan jelas, ahli agama yang benar (baca : kitab Al-I’tishaam, I/194-196 oleh Imam Asy-syathibi).
    Adapun dzikir dengan lisan, maka sesungguhnya telah disebutkan dalam hadits tentang para malaikat yang berkeliling (mencari majelis dzikir). Akan tetapi tidak ada di sebutkan didalam anjuran menyaringkan bacaan atau mengangkat suara; demikian pula hal-hal lainnya. Kaidah-kaidah pokok dalam masalah ini adalah menyatakan amal-amal fardhu dan menyembunyikan amal-amal nawafil (sunnah).
    Dasarnya adalah firman Allah SWT , dalam surat Maryam : 3 ,

    “yaitu tatkala ia berdo’a kepada Rabbnya dengan suara yang lembut.”

    Adapun mengenai dzikir-dzikir yang telah diajarkan Rasulullah saw (adzkaar nabawiyah), memiliki kedudukan dan arti penting yang tinggi bagi seorang muslim, sehingga banyak ditulis kitab beraneka ragam tentang masalah ini. Seharusnya seorang muslim diperintahkan untuk berdzikir yang telah disyari’atkan, karena dzikir merupakan bagian dari ibadah.
    Dan Ibadah hanya dibangun diatas dasar tauqifiyah ( berdasarkan kepada dalil wahyu ) dan ittiba’ (mencontoh Rasulullah) ‘tidak menurut hawa nafsu dan kehendak hati semata. ( Majmu’ Fatawa, 22/510 Ibnu Taimiyah, rahimahullah ta’ala )

    Penelitian seputar dzikir berjama’ah apakah dapat dikatakan sebagai syari’at ?
    Perlu kita ketahui dulu dalil-dalil masalah ini, supaya persoalan ini dapat kita jadikan sebagai hujjah atau dirajihkan(dikuatkan).

    Dalil pertama, : Didalam firman Allah surat al-Jumu’ah :10, yaitu ;

    “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan berdzikirlah kalian kepada Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”

    Penelitian dari kata, “udzkurullah (berdzikirlah kalian) dalam ayat ini? Sangat jelas, bahwa berdzikir ini setelah Allah swt memerintahkan untuk bertebaran. Arti kata ini adalah masing-masing dalam menginggat Allah (dalam berdzikir) tidak dengan dipimpin dan dikomandoi.

    Ini menunjukan, bahwa dzikir tidak mesti harus bersama (berjama’ah). Bahkan dzikir berjama’ah dengan satu suara tidak ada contohnya. Seandainya ada contohnya dari para shalafush shalih, kami akan melaksanakan dan kami akan mendukungnya.

    Dalil kedua, : Didalam firman Allah surat al-Anfal :45, yaitu ;

    “Hai orang-orang yang beriman. Apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.”

    Dari ayat diatas, apakah pernah ada riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi saw dalam suatu peperangan memimpin para sahabatnya berdzikir

    dengan satu suara ? Padahal peperangan sangat banyak dan riwayat mengenai kejadian dalam medan tempur juga banyak. Ini menunjukkan, bahwa dzikir disini, meskipun mengunakan dhamir jama’, tetapi dalam pelaksanaannya secara sendiri-sendiri.
    Dalam melakukan suatu amal ibadah, harus berdasarkan ilmu. Demikian kaidah umum yang sudah dipahami oleh semua orang ; baik yang shahih ataupun oleh yang menyimpang. Bedanya, kalau orang yang shahih, ia mendahulukan ilmu terlebih dahulu sebelum beramal. Sebaliknya, yang menyimpang, justru sering atau kadang lebih mendahului amal, kemudian setelah itu mencari legitimasi dari dalil.
    Kalau ilmu yang didahulukan; tentunya sebelum melakukan satu ibadah, terlebih dahulu harus mengetahui cara-caranya (kaifiyahnya). Setelah itu melaksanakannya sesuai dengan dalil-dalil dan contoh praktisnya dari Rasulullah saw dan para sahabat beliau. Tidak cukup dengan dalil umum, lalu kita laksanakan sekehendak hati kita sendiri. Tanpa ada bimbingan dan pemahaman para sahabat ra, tabi’in, tabi’ut, tabi’in.
    Mengenai hadits-hadits yang dibawakan dan yang digunakan sebagai dalil dzikir berjama’ah,
    Adalah sbb ;

    “Tidaklah berkumpul satu kaum disatu rumah diantara rumah-rumah Allah, mereka membaca dan saling mengajarkan kitabullah diantara mereka, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, dilimpahkan kepada mereka rahmat dan mereka di kelilingi para Malaikat dan Allah menyebut mereka di kalangan para malaikat yang ada disisi-Nya.

    ( Al-Hadits, diriwayatkan Muslim, kitab Adz Dzikru Wad Du’a, no.6793: Syara Muslim, hal.24 juz.17 )

    Imam Nawawi, rahimahullah ta’ala ,mengatakan, : “Dalam hadits ini terdapat dalil keutamaan berkumpul untuk membaca Al-Qur’an di masjid. Inilah madzhab jumhur.” (syarah Muslim, hal.24 jilid 17). Namun bukan dengan satu suara. Prakteknya ialah sebagaimana dilakukan oleh para ulama sunnah dengan membaca sendiri dengan suara pelan, atau satu membaca,
    sedangkan yang lainnya mendengar, sebagaimana dicontohkan dalam hadits Bukhari no.4582.

    Syaikh al-Albani, rahimahullah ta’ala (kitabnya ta’liq Riyadush Shalihin, hal.146) mengatakan : “Yatadarasun, maknanya adalah sebagian anggota ikut serta dalam bacaan sebagian yang lain. Dan menjaga hafalan, karena ditakutkan lupa.” Dan membaca Al-Qur’an boleh dibaca dimana saja kecuali ditempat-tempat yang dilarang, seperti : kuburan, wc atau yang lainnya.
    Jadi, makna kata “Yatadarasun” dalam hadits diatas yaitu masing-masing membaca Al-Qur’an atau satu orang membaca dan yang lainnya meneliti untuk mengoreksi jika terjadi kesalahan, sebagaimana yang disebutkan dalam Faidhul Qadir, dalam riwayat Imam Ahmad, 2/407 : “Mereka membaca dan mempelajari Kitabullah. Mereka saling belajar kepada yang lain.”

    Imam Asy-Syathibi, rahimahullah ta’ala (kitabnya al-I’tisham : 1/357-358) ia mengatakan :
    Adapun membaca Al-Qur’an secara berjama’ah dengan satu suara, tidak masuk kedalam makna hadits diatas, dan perbuatan seperti itu termasuk bid’ah. Perbuatan seperti ini juga di ingkari Imam Malik , rahimahullah ta’ala sebagaimana tersebut dalam At Tibyan, karya Imam Nawawi.
    Misalnya syari’at menganjurkan dzikir. Lalu ada sebagian orang sengaja berkumpul untuk berdzikir (Dzikir berjama’ah) dengan satu suara ( disuarakan bersama-sama ) atau dilakukan pada waktu-waktu tertentu atau waktu khusus. Sementara tidak ada syari’at yang menunjukan waktu tertentu .

    Kecuali pengkhususannya yang telah ditetapkan oleh dalil , seperti Dzikir pagi dan petang dan tidak mengeraskan suaranya. Dan kecuali yang dianjurkan oleh syari’at , seperti takbir pada dua hari raya ( Idul Fitri dan
    Idul Adha ) dan sejenisnya. Adapun selain itu mereka selalu menyembunyikannya.

    Al Hafizh Ibnu Abdil Hadi, rahimahullah ta’ala (kitabnya Ash-Shaarimul Munki : 427) ia berkata : tidak boleh mengada-adakan takwil terhadap sebuah ayat atau sunnah (hadits) yang tidak ada pada masa Shalafush shalih, tidak dikenal mereka dan tidak mereka jelaskan kepada umat. Oleh karena konsekuensinya adalah tuduhan mereka tidak tahu kebenaran dan sesat dalam masalah tersebut. Lantas orang yang datang inilah yang mengetahuinya.

    Al-Imam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, rahimahullah ta’ala menyebutkan tentang keutamaan ini secara ringkas dalam ( baca kitab Majmu’ Fatawa,15/19-20 ).
    Adalah sbb :
    1. Imam lebih besar, karena orang yang berdo’a dengan suara pelan mengetahui bahwa Allah mendengar do’a pelan.
    2. Lebih besar dalam adab dan pengangungannya, Karena jika Allah mendengar suara pelan, maka tidak layak memohon kepadaNya, kecuali dengan suara pelan.
    3. Lebih mendalam dalam hal merendahkan diri dan kekhuyu’an.
    4. Lebih mendalam dalam hal keikhlasan.
    5. Lebih mendalam mengkonsentrasikan hati pada saat merendahkan diri dalam berdo’a, hal ini menunjukan kedekatannya kepada Allah.
    6. Lebih mendorong kepada terus menerusnya permintaan, karena tidak cepat bosan dan lelah.
    7. Lebih jauh dari gangguan.
    8. Lebih menyelamatkan dari orang-orang yang hasad.

    Oleh karena itu jika seseorang mengeraskan do’a, maka akan mengakibatkan hilangnya keutamaan dan faedah diatas. Maka dari itu tidak ada keraguan do’a dengan suara keras yang dilakukan oleh satu jama’ah dengan bersama-sama sangat menghilangkan kebaikan dan

    faedahnya. Orang-orang “Salaf” semoga Allah merahmati mereka – menganggap hal berdo’a seperti dijelaskan diatas merupakan membuat perkara yang baru dalam Agama dan keluar dari jalan penghulu para rasul. (baca kitab Fiqhul Ad’iyah Wal Adzkar,2/83 karya Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin Al-Badr).

    Dahulu umat Islam ( para sahabat,ra ) bersungguh-sungguh dalam berdo’a, namun tidaklah terdengar suara mereka. Do’a mereka adalah bisikan antara mereka dengan Rabb mereka. Hal ini karena Allah ta’ala berfirman :

    “Berdo’alah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.”
    (QS. Al-A’raf :55)

    Dan karena Allah telah menyebutkan hambaNya yang shalih, Dia ridha terhadap perbuatannya, Dia berfirman :

    “yaitu tatkala ia (nabi Zakaria, as) berdo’a kepada Rabbnya dengan suara yang lembut.” (QS. Maryam : 3 ).

    B A B – II
    HUKUM BERKUMPUL UNTUK BERDZIKIR ATAU BERDO’A DAN MENGERASKAN SUARA, BILAKAH HAL ITU DIANGGAP BID’AH ?”

    Imam Ahmad ditanya tentang seorang lelaki duduk dalam majlis bersama sekelompok orang, lalu yang ini berdo’a dan yang itu berdo’a lalu mereka berkata : “berdo’alah engkau !”
    Imam Ahmad berkata, “Aku tidak tahu, amalan macam apakah itu?!”
    Ibnu Manshur berkata kepada Imam Ahmad : “Makruhkan satu kaum berkumpul untuk berdo’a dan mengangkat tangan mereka?” Beliau menjawab, “Aku tidak menganggapnya makruh jika tidak dilakukan dengan sengaja, kecuali bila jumlah mereka terus bertambah banyak.

  6. achmad says:

    Apabila kita melakukan ibadah secara terbaik dan bersungguh ini bermakna kita berusaha untuk menempatkan diri kita dikalangan para sahabat nabi dan para tabi’in. Bagaimana untuk kita bersama-sama mereka? iaitu mengikuti apa sahaja yang Rasul lakukan semasa hayatnya.. kemungkinan kita ada yang berkata “apa yang nabi tak larang tak semestinya haram atau berdosa” tapi kita kena fikirkan jika perbuatan tersebut dilakukan semasa hayat nabi (ketika nabi masih hidup) dan ianya tidak dilarang oleh baginda maka perbuatan tersebut sudah tentu tidak bersalahan. Namun jika sesuatu perbuatan ibadah itu yang nabi tidak lakukan dan ianya dilakukan kemudian selepas kewafatan nabi, apakah jaminan kita untuk mengatakan cara itu betul?

    JIka kita terlajak memasuki sesebuah jalan, maka kita boleh reverse untuk ke jalan yang betul.. tetapi dalam hal ibadah ini jika kita mati dan cara kita esok kemungkinan diadili oleh Allah tidak betul, maka bolehkan kita kembali ke dunia ini untuk memperbetulkan semula? apakah kita boleh mengambil risiko sedemikian? tepuk dada, tanyalah iman…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


*

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>