Oleh Fadhil ZA

Masalah dzikir berjamaah  sampai saat ini masih menjadi polemik dikalangan ulama dan umat Islam secara umum. Ada yang menganggap itu sebagai perbuatan bid’ah dan pelakunya termasuk orang yang sesat dan berada dalam neraka jahannam. Ada yang mengatakan itu sebagai amalan sunah yang dianjurkan dan pelakunya mendapat naungan dan rahmat dari Allah. Manakah yang benar? Masing masing kelompok mengemukakan dalilnya. Bagaimana sikap kita menghadapi polemik ini?

Alasan mereka yang menolak dzikir berjamaah.

indonesiaberdzikir1vu0Kelompok yang mengatakan dzikir berjamaah itu sebagai perbuatan bid’ah mengatakan bahwa dizaman Rasulullah tidak ada dicontohkan cara dzikir seperti itu. Mereka mengacu pada hadist yang diriwayatkan Ad Darimi.

Telah mengkabarkan kepada kami Al-Hakam bin mubarrak,telah mendengar: aku:” menceritakan kepada kami Umar bin Yahya ia berkata “ayahku mengisahkan dari ayahnya ia berkata :” kami duduk didepan pintu rumah Ibni Mas`ud sebelum shalat shubuh,apabila beliau keluar kami berjalan bersamanya menuju masjid,(ketika kami sedang menanti beliau ) datanglah Abu Musa al asyar`I seraya bertanya “apakah Abu Abdurrahman telah keluar ? belum jawab kami,maka beliaupun duduk bersama kami menunggu sampai Ibnu Mas`ud keluar ketika beliau keluar kami semua berdiri ,lalu Abu Musa bertanya Hai Abu Abdurrahman ! sungguh tadi dimasjid aku melihat suaktu perkara yang aku ingkari,namun secara sekilas nampaknya hal itu baik .apaitu ? tanya Ibnu mas`ud , ia Abu Musa menjawab “sekiranya engkau dikarunia umur panjang engkau akan melihatnya .dimasjid aku melihat sekelompok orang duduk-duduk membentuk beberapa halaqah,mereka sedang menunggu shalat .setiap kelompok tersebut dipimpin oleh seorang sedang tangan mereka memegang batu kerikil.pimpinan jamaah tersebut berkata kepada jamaahnya :bertakbirlah seratus kali ! maka mereka bertakbir seratus kali.lalu ia berkata lagi : bertahlilah seratus kali! maka merekapun bertahlil seratus kali.maka ia berkata lagi : ”bertasbilah seratus kali! Maka mereka bertasbih seratus kali.Ibnu Masud bertanya kepada kepada Abu Musa :”lalu apa yang engkau katakan kepada mereka ?aku tidak berkomentar apa-apa menunggu pendapat dan perintah darimu ,”jawab Abu Musa “.tidakkah engkau perintahkan mereka untuk menghitung dosa-dosa dan engkau jamin bahwa perbuatan baik mereka tak akan sirna sedikitpun ? ” kata Ibnu Masud.maka berangkatlah beliau Ibnu masud dan kamipun memgikutinya hingga beliau sampai kepada salah satu halaqah tersebut,lalu beliau memberhentikan mereka seraya berkata “Hitunglah dosa-dosa kalian maka aku menjamin bahwa amalan baik kalian tidak akan sia-sia.celakalah kalian wahai umat Muhammmad ,alangkah cepatnya kalian menuju kebinasaan ,padahal para sahabat Nabi kalian masih banyak,dan bejana-bejana mereka belum pecah.Demi jiwaku yang berada ditanganya ! kalian berada diatas Adien yang lebih baik dari adien Nabi Muhammad atau kalian pembuka pintu kesesatan ? mereka menjawab :”Demi Allah hai Abu Abdurrahman ! kami tidak menghendaki kecuali kebaikan :.maka beliau mengatakan “berapa banyak orang yang menghendaki kebaikan tetapi ia tidak mendapatkan (karena ia mengamalkan suatu amalan yang tidak dituntunkan oleh Allah dan Rasul-nya ). (HR Ad Darimi dalam sunanya,kitab al muqadimah ,hadist:204 ).

Mahmud Salma berkata :,Bukan termasuk perbuatan sunnah apabila seseorang duduk setelah shalat untuk membaca dzikir -dzikir ataupun doa doa yang matsur ( yang bersumber dari hadist shahih ) maupun yang tidak matsur dengan suara yang keras .apalagi kalau bacaan semacam ini dikerjakan secara kolektif (bersama sama ),seperti yang terlah terjadi dibeberapa daerah,namun sayangnya tradisi yang berlaku ini malah dianggap tidak benar jika tidak dikerjakan,bahkan orang yang melanggarnya malah dianggap sebagai orang yang melanggar syiar adin, padahal tradisi semacam ini harusnya ditinggalkan,karena tidak diajarkan oleh Rasullah Sallahu alaihiwasallam.

Muhammad Abdussalam Asy Syakiri berkata :”Membaca istighfar secara bersama-sama oleh para jama’ah setelah salam sholat merupakan perbuatan bid’ah, dan sunnahnya istighfar dilakukan sendiri-sendiri.begitu juga dengan lafadz“yaa arhama rohimin” ,yang dibaca secara bersama sama juga termasuk bidah . (sunan walmubtadiat :60 ) Asy Syatibi berkata Rasulullah Sallahu alaihiwasallam. tidak pernah mengeraskan suaranya untuk membaca do’a maupun dzikir setelah selesai sholat kecuali untuk tujuan mengajari para sahabatnya sebab jika mengeraskan bacaannya atau suaranya terus menerus pasti akan dianggap sebagai sunnah dan ulama’pasti akan akan menganngap sunnah nabi dan selayaknya dicontoh”. (Al I`tisham 1/351 ) Imam Nawawi mengatakan :“…hendaklah imam dan ma’mum tidak mengeraskan suaranya kecuali bila tujuannya untuk mengajari orang lain .” (Fathul bari”11/326 ) Ibnu Hajar berkata :”Disebut dalam kitab “Al Atabiyah”sebuah riwayat dari Malik bahwa perbuatan tersebut (dzikir secara bersama- sama ) dianggap bid’ah.” (Fathul Bari :11/326 ). Asy Syatibi mengatakan :”Telah disimpulkan bahwa selalu membaca do’a secara bersama-sama bukan termasuk perbuatan Rasulullah Sallahu alaihiwasallam. dan juga bukan termasuk perkataan dan taqrirnya”. (Al I`tisham :1/352 )

Komite Tetap Kajian dan Fatwa Arab Saudi berpendapat bahwa zikir berjamaah hukumnya haram dan termasuk bidah. Pendapat itu dikeluarkan oleh lembaga yang dipimpin oleh Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dengan anggota Syekh Bakar Abu Zaid, Abdul Aziz Alussyekh, Shalih al-Fauzan, dan Abdullah bin Ghadyan.

Pandangan ini juga merupakan opsi yang dipilih oleh Asosiasi Ulama Senior Arab Saudi. Menurut mereka, aktivitas semacam itu tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Seperti hadis Bukhari Muslim yang diriwayatkan dari Aisyah, “Maka segala apa yang tidak pernah diteladankan oleh Rasul, hukumnya tertolak”. Artinya, tidak boleh dilakukan.
Zikir yang dicontohkan oleh Rasul ialah zikir individual dengan bersuara usai shalat lima waktu. Ini seperti hadis riwayat Bukhari Muslim dari Ibn Abbas.

Sekalipun pada dasarnya bacaan-bacaan yang dikeluarkan saat berzikir berjamaah pernah diteladankan Rasul tetapi cara penyampaiannya tidak dibenarkan. Ini dianggap bidah. Sebab, zikir yang disunahkan bersifat individual, bukan berjamaah.

Alasan mereka yang mendukung dzikir berjamaah

Kelompok yang mengatakan dzikir berjamaah itu sebagai suatu amalan yang dianjurkan mengacu pada hadist yang disampaikan Abu Hurairah  dan diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim

1.    Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu :

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ للهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مَلَائِكَةً سَيَّارَةً فُضُلًا يَتَتَبَّعُونَ مَجَالِسَ الذِّكْرِ، فَإِذَا وَجَدُوا مَجْلِسًا فيْهِ ذِكْرٌ قَعَدُوا مَعَهُمْ، وَحَفَّ بَعْضُهُمْ بَعْضًا بِأَجْنِحَتِهِمْ، حَتَّى يَمْلَئُوا مَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَإِذَا تَفَرَّقُوا عَرَجُوا وَصَعِدُوا إِلَى السَّمَاءِ، قَالَ : فَسْأَلُهُمُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ : مِنْ أَيْنَ جِئْتُمْ ؟ فَيَقُولُونَ : جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عَبَادٍ لَكَ فِي الْأَرْضِ يُسَبِّحُونَكَ، وَيُكَبِّرُونَكَ، وَيُهَلِّلُونَكَ، وَيَحْمَدُونَكَ، وَيَسْأَلُونَكَ، قَالَ : وَمَاذَا يَسْأَلُونِيْ ؟ قَالُوا : يَسْأَلُونَكَ جَنَّتَكَ، قَالَ : وَهَلْ رَأَوْا جَنَّتِيْ ؟ قَالُوا : لَا أَيْ رَبَّ، قَالَ : فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا جَنَّتِيْ ؟ قَالُوا : وَيَسْتَجِيرُو نَكَ، قَالَ : وَمِمَّا يَسْتَجِيرُونَنِيْ، قَالُوا : مِنْ نَارِكَ يَا رَبِّ، قَالَ : هَلْ رَأَوْا نَارِي ؟ قَالُوا : لَا، قَالَ : فَكَيفَ لَوْ رَأَوْا نَارِيْ ؟ ……

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah tabaaraka wa ta’aalaa mempunyai beberapa malaikat yang terus berkeliling mencari majelis dzikir. Apabila mereka telah menemukan majelis yang di situ disebut nama Allah, maka mereka duduk bersama orang-orang tersebut, mereka mengelilingi jama’ah itu dengan sayap-sayap mereka, sehingga memenuhi ruang antara mereka dan langit dunia. Jika orang-orang tersebut telah selesai, maka mereka naik ke langit”. Nabi berkata : “Kemudian Allah ‘azza wa jalla bertanya kepada para malaikat tersebut – dan Allah lebih tahu tentang apa yang mereka lakukan – : “Dari mana kamu sekalian ?”. Mereka menjawab : “Kami datang dari hamba-hamba-Mu di bumi, mereka sedang mensucikan-Mu, bertakbir kepada-Mu, memuji-Mu, dan memohon kepada-Mu”. Allah bertanya : “Apa yang mereka minta ?”. Para malaikat menjawab : “Mereka memohon surga-Mu”. Allah bertanya : “Apakah mereka pernah melihat surga-Ku ?”. Para malaikat menjawab : “Tidak wahai Rabbku”. Kata Allah : “Betapa seandainya mereka pernah melihat surga-Ku”. Para malaikat berkata : “Mereka juga berlindung kepada-Mu”. Allah bertanya : “Dari apa mereka berlindung kepada-Ku?”. Para malaikat menjawab : “Dari neraka-Mu wahai Rabbku”. Allah bertanya : “Apakah mereka pernah melihat neraka-Ku?”. Para malaikat menjawab : “Tidak”. Kata Allah : “Betapa seandainya mereka pernah melihat neraka-Ku…” [HR. Al-Bukhari no. 6408 dan Muslim no. 2689].

2.    Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِي إِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ مِنِّي شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam : Allah ’azza wa jalla berfirman : “Aku terserah pada sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersama hamba-Ku ketika dia mengingat-Ku. Jika dia mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku akan mengingatnya di dalam diri-Ku. Jika dia mengingat-Ku di tengah orang banyak, maka Aku juga mengingatnya di tengah orang banyak yang lebih baik dari mereka. Jika dia mendekat sejengkal kepada-Ku, Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Jika dia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepada-Nya sedepa. Jika dia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku mendatanginya dengan berlari” [HR. Al-Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675].

3.    Hadits Mu’awiyyah radliyallaahu ‘anhu :

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ خَرَجَ مُعَاوِيَةُ عَلَى حَلْقَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ مَا أَجْلَسَكُمْ قَالُوا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ قَالَ آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلَّا ذَاكَ قَالُوا وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلَّا ذَاكَ قَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَمَا كَانَ أَحَدٌ بِمَنْزِلَتِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقَلَّ عَنْهُ حَدِيثًا مِنِّي وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ مَا أَجْلَسَكُمْ قَالُوا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلْإِسْلَامِ وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَا قَالَ آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلَّا ذَاكَ قَالُوا وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلَّا ذَاكَ قَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَلَكِنَّهُ أَتَانِي جِبْرِيلُ فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِي بِكُمْ الْمَلَائِكَةَ.

Dari Abu Sa’id Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Mu’awiyyah radliyallaahu ‘anhu pernah melewati suatu halaqah di masjid. Lalu ia bertanya : “Majelis apakah ini ?”. Mereka menjawab : “Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah ta’ala”. Mu’awiyyah bertanya lagi : “Demi Allah, benarkah kalian duduk hanya untuk itu ?”. Mereka menjawab : “Demi Allah, kami duduk hanya untuk itu”. Kata Mu’awiyyah selanjutnya : “Sungguh aku tidak menyuruh kalian bersumpah karena mencurigai kalian, sebab tidak ada orang yang menerima hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih sedikit daripada aku. Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati satu halaqah para shahabatnya, lalu beliau bertanya : “Majelis apakah ini ?”. Mereka menjawab : “Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah. Kami memuji-Nya atas hidayah-Nya berupa Islam dan atas anugerah-Nya kepada kami”. Beliau bertanya lagi :“Demi Allah, apakah kalian duduk untuk itu ?”. Mereka menjawab : “Demi Allah, kami duduk hanya untuk itu”. Beliau pun kemudian bersabda : “Sungguh, aku tidaklah menyuruh kalian bersumpah karena mencurigai kalian, tetapi karena aku didatangi Jibril ‘alaihis-salaam yang memberitahukan bahwa Allah ‘azza wa jalla membanggakan kalian di depan para malaikat” [HR. Muslim no. 2701].

Mereka yang melaksanakan dzikir secara berjamaah mengacu pada ketiga hadist diatas. Karena masing masing mempunyai dalil hadist yang berbeda sudut pandangnya, sebaiknya kita tidak perlu saling menyalahkan dan menganggap yang lainnya sebagai amalan bid’ah .

Di tengah masyarakat pada umum kondisi ini cenderung  menjadi pokok pangkal perpecahan dan saling memojokan . Sebaiknya umat Islam bisa menghargai perbedaan pendapat yang terjadi , karena dari dalil hadistnyapun sudah terjadi perbedaan. Disamping dalil hadist sebaiknya kita juga mengacu pada dalil Al Qur’an. Didalam Al Qur’an tidak ada larangan yang tegas menyatakan bahwa dzikir berjamaah itu perbuatan yang dilarang.

Penjelasan Al Qur’an tentang berdzikir

Al Qur’an menjelaskan bahwa berdzikir itu bisa dilakukan seorang diri , secara berjamaah, didalam hati, dijaharkan denga  lisan , kapan saja ketika berdiri, duduk dan berbaring.

Dzikir seorang diri dengan siir (rahasia)

Dzikir ini dilaksanakan dengan mengacu pada firman Allah pada surat Al A’Raaf ayat 205:

205. Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.

Dzikir dengan berjamaah

Dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa segala sesuatu yang ada dilangit dan bumi semua berdzikir dan bertasbih pada Allah namun kita manusia tidak mengerti cara tasbih dan dzikirnya.

44. Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (Al Israak 44)

206. Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nya-lah mereka bersujud (Al A’raaf 205)

Para malaikat, bintang, planet , gunung, awan, angin, lautan, pohon2, binatang yang melata di bumi , burung2 semua berdzikir dan bertasbih pada Allah bersama sama.

Allah juga memerintahkan orang yang beriman untuk berdzikir dan bertasbih padanya secara beramai ramai seperti disebutkan dalam surat Al Ahzab

41. Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. 42. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang43. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. (Al Ahzab 41-42)

Ini adalah perintah kolektif yang ditujukan kepada orang orang yang beriman, bukan perintah untuk individu dan perorangan. Allah juga mengajarkan kita doa doa yang diucapkan secara kolektif (berjamaah) seperti pada surat Ali Imran ayat 191-194, dimana awal doa dimulai dengan wahai Tuhan Kami (jamak) …bukan dengan wahai Tuhanku (tunggal).

191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. 192. Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun. 193. Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti. 194. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.” (Ali Imran 191-194)

Dzikir dengan lisan

Allah memerintahkan orang yang beriman untuk menyebut nyebut  nama Allah dengan sebanyak banyaknya dengan suara yang lembut , tidak terlalu keras dan tidak pula terlalu pelan.

110. Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (Al Israak 110)

Orang yang tidak berdzikir adalah orang yang lalai

Al Qur’an menjelaskan bahwa dzikir itu boleh dilakukan seorang diri, beramai ramai (berjamaah) , dengan lisan atau rahasia didalam hati masing masing, dimana saja ketika duduk , berdiri dan berbaring , diwaktu pagi, petang atau malam hari. Lakukanlah sebisa yang dapat dilakukan. Jangan saling menyalahkan dan menuduh yang lainnya sesat dan melakukan  bid’ah. Yang tidak benar adalah orang yang tidak mau mengerjakan dzikir mengingat Allah, mereka itulah orang yang lalai . Allah mengingatkan hal ini dalam surat  Al Hasyr ayat 19

19. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. (Al Hasyr 19)

Dan didalam akhir surat Al A’raaf ayat 205 dikatakan janganlah kalian termasuk orang yang lalai (dari mengingat Allah)

Mari kita hidupkan hati dan fikiran kita dengan berdzikir mengingat Allah, baik seorang diri maupun beramai ramai, dengan jahar atau siir. Jangan sibuk menyalahkan orang lain hingga tidak sempat berdzikir pada Allah hingga masuk kedalam golongan orang yang lalai dan fasik. Mudah mudahan dapat mencerahkan hati pembaca.

 

 

 

 

7 thoughts on “PRO DAN KONTRA DZIKIR BERJAMAAH”
  1. Mohon Koreksi ketika saya ada khilaf…
    Alasan mereka yang mendukung dzikir berjamaah

    dari keterangan hadist yang saya baca diatas berdzikir bisa berjamaah tapi tidak menunjukkan sedang bedzikir dengan suara keras dan tidak menunjukkan ada komando dari imam.
    tidak sepeti yang selama ini kita lihat dzikir dengan komando dan dengan suara yang keras
    namanya saja dzikir mesti dengan suara yang lembut.

    1. assalamu alikum
      Masalah berdzikir dengan jahar atau sir dikomando atau tidak itu adalah penafsiran masing masing orang , disitulah timbulnya pro dan kontra. Sebaiknya kita kerjakan apa yang kita yakini dan legowo menerima perbedaan pendapat. Biarkanlah saudara kita mengerjakan apa yang mereka yakini , dan kerjakanlah apa yang kita yakini pula. yang tidak benar menurut al Qur’an adalah orang yang meninggalkan dzikir sama sekali.

  2. Setuju Pak Ust dengan uraian di atas. Kalau lah kita mau menyadari bahwa rambut yang sama2 hitam akan tetapi ilmu dan pemahaman boleh2 saja berbeda dan tidak memaksakan kehendak kita kepada orang lain dan kita saling menghargai, maka insya allah tidak akan ada perpecahan diantara umat islam ini. Selagi pemahaman itu tidak bertentangan dengan sunah rasul dan al-quran nur qarim..

  3. Mengenai maraknya Dzikir bersama dengan suara keras bersama – sama menjadikan kami untuk dapat mengkritiknya dengan bersandar pada dua hal : Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Perintah dzikir di kalangan para Imam dan Ulama tidak terjadi perbedaan dan juga dalam dalilnya.
    Bagi kami yang menjadi masalah adalah dalam bentuk dzikir yang disyari’atkan (Kaifiyahnya).

    Dalam hal ini Allah SWT, telah berfirman dalam surat Al-A’raf : 55 ;

    Berdo’alah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

    Al-Hadits yang diriwayatkan dari jalan Abu Musa Al-Asy’ari, rahimahullah, ia berkata, “Kami bersama Rasulullah SAW dalam sebuah safar. Lalu orang-orang menyaringkan suara takbir mereka. Rasulullah saw, bersabda :

    “Pelankanlah suara-suara kalian. Sesungguhnya kalian tidaklah menyeru Rabb yang tuli dan ghaib. Kalian menyeru Rabb Yang Maha Mendengar lagi Maha dekat, dan Dia bersama kalian.”
    Hadits ini merupakan tafsir dari ayat di atas. Para sahabat ra, tidak menyuarakan takbir bersama-sama dengan satu suara. Bahkan Rasulullah saw melarang mereka mengangkat suara dan menganjurkan supaya
    mereka mengamalkan kandungan ayat di atas. Dan telah dinukil dari Shalafush Shalih larangan berkumpulnya untuk berdzikir dan berdo’a seperti berkumpulnya kaum ahli bid’ah. Dan dinukil pula dari mereka larangan mendatangi masjid-masjid yang digunakan untuk tujuan tersebut. Itulah yang mereka sebut ribath dan shuffah. Larangan ini disebutkan oleh Ibnu Wahab, Ibnu Wadhah dan yang lainnya.
    Penjelasan mereka itu sudah cukup bagi siapa saja yang Allah beri taufik.
    Sebagian dari mereka berbaik sangka, dengan mengira bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar. Dan berburuk sangka terhadap Shalafush Shalih yang merupakan ahli amal yang kuat dan jelas, ahli agama yang benar (baca : kitab Al-I’tishaam, I/194-196 oleh Imam Asy-syathibi).
    Adapun dzikir dengan lisan, maka sesungguhnya telah disebutkan dalam hadits tentang para malaikat yang berkeliling (mencari majelis dzikir). Akan tetapi tidak ada di sebutkan didalam anjuran menyaringkan bacaan atau mengangkat suara; demikian pula hal-hal lainnya. Kaidah-kaidah pokok dalam masalah ini adalah menyatakan amal-amal fardhu dan menyembunyikan amal-amal nawafil (sunnah).
    Dasarnya adalah firman Allah SWT , dalam surat Maryam : 3 ,

    “yaitu tatkala ia berdo’a kepada Rabbnya dengan suara yang lembut.”

    Adapun mengenai dzikir-dzikir yang telah diajarkan Rasulullah saw (adzkaar nabawiyah), memiliki kedudukan dan arti penting yang tinggi bagi seorang muslim, sehingga banyak ditulis kitab beraneka ragam tentang masalah ini. Seharusnya seorang muslim diperintahkan untuk berdzikir yang telah disyari’atkan, karena dzikir merupakan bagian dari ibadah.
    Dan Ibadah hanya dibangun diatas dasar tauqifiyah ( berdasarkan kepada dalil wahyu ) dan ittiba’ (mencontoh Rasulullah) ‘tidak menurut hawa nafsu dan kehendak hati semata. ( Majmu’ Fatawa, 22/510 Ibnu Taimiyah, rahimahullah ta’ala )

    Penelitian seputar dzikir berjama’ah apakah dapat dikatakan sebagai syari’at ?
    Perlu kita ketahui dulu dalil-dalil masalah ini, supaya persoalan ini dapat kita jadikan sebagai hujjah atau dirajihkan(dikuatkan).

    Dalil pertama, : Didalam firman Allah surat al-Jumu’ah :10, yaitu ;

    “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan berdzikirlah kalian kepada Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”

    Penelitian dari kata, “udzkurullah (berdzikirlah kalian) dalam ayat ini? Sangat jelas, bahwa berdzikir ini setelah Allah swt memerintahkan untuk bertebaran. Arti kata ini adalah masing-masing dalam menginggat Allah (dalam berdzikir) tidak dengan dipimpin dan dikomandoi.

    Ini menunjukan, bahwa dzikir tidak mesti harus bersama (berjama’ah). Bahkan dzikir berjama’ah dengan satu suara tidak ada contohnya. Seandainya ada contohnya dari para shalafush shalih, kami akan melaksanakan dan kami akan mendukungnya.

    Dalil kedua, : Didalam firman Allah surat al-Anfal :45, yaitu ;

    “Hai orang-orang yang beriman. Apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.”

    Dari ayat diatas, apakah pernah ada riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi saw dalam suatu peperangan memimpin para sahabatnya berdzikir

    dengan satu suara ? Padahal peperangan sangat banyak dan riwayat mengenai kejadian dalam medan tempur juga banyak. Ini menunjukkan, bahwa dzikir disini, meskipun mengunakan dhamir jama’, tetapi dalam pelaksanaannya secara sendiri-sendiri.
    Dalam melakukan suatu amal ibadah, harus berdasarkan ilmu. Demikian kaidah umum yang sudah dipahami oleh semua orang ; baik yang shahih ataupun oleh yang menyimpang. Bedanya, kalau orang yang shahih, ia mendahulukan ilmu terlebih dahulu sebelum beramal. Sebaliknya, yang menyimpang, justru sering atau kadang lebih mendahului amal, kemudian setelah itu mencari legitimasi dari dalil.
    Kalau ilmu yang didahulukan; tentunya sebelum melakukan satu ibadah, terlebih dahulu harus mengetahui cara-caranya (kaifiyahnya). Setelah itu melaksanakannya sesuai dengan dalil-dalil dan contoh praktisnya dari Rasulullah saw dan para sahabat beliau. Tidak cukup dengan dalil umum, lalu kita laksanakan sekehendak hati kita sendiri. Tanpa ada bimbingan dan pemahaman para sahabat ra, tabi’in, tabi’ut, tabi’in.
    Mengenai hadits-hadits yang dibawakan dan yang digunakan sebagai dalil dzikir berjama’ah,
    Adalah sbb ;

    “Tidaklah berkumpul satu kaum disatu rumah diantara rumah-rumah Allah, mereka membaca dan saling mengajarkan kitabullah diantara mereka, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, dilimpahkan kepada mereka rahmat dan mereka di kelilingi para Malaikat dan Allah menyebut mereka di kalangan para malaikat yang ada disisi-Nya.

    ( Al-Hadits, diriwayatkan Muslim, kitab Adz Dzikru Wad Du’a, no.6793: Syara Muslim, hal.24 juz.17 )

    Imam Nawawi, rahimahullah ta’ala ,mengatakan, : “Dalam hadits ini terdapat dalil keutamaan berkumpul untuk membaca Al-Qur’an di masjid. Inilah madzhab jumhur.” (syarah Muslim, hal.24 jilid 17). Namun bukan dengan satu suara. Prakteknya ialah sebagaimana dilakukan oleh para ulama sunnah dengan membaca sendiri dengan suara pelan, atau satu membaca,
    sedangkan yang lainnya mendengar, sebagaimana dicontohkan dalam hadits Bukhari no.4582.

    Syaikh al-Albani, rahimahullah ta’ala (kitabnya ta’liq Riyadush Shalihin, hal.146) mengatakan : “Yatadarasun, maknanya adalah sebagian anggota ikut serta dalam bacaan sebagian yang lain. Dan menjaga hafalan, karena ditakutkan lupa.” Dan membaca Al-Qur’an boleh dibaca dimana saja kecuali ditempat-tempat yang dilarang, seperti : kuburan, wc atau yang lainnya.
    Jadi, makna kata “Yatadarasun” dalam hadits diatas yaitu masing-masing membaca Al-Qur’an atau satu orang membaca dan yang lainnya meneliti untuk mengoreksi jika terjadi kesalahan, sebagaimana yang disebutkan dalam Faidhul Qadir, dalam riwayat Imam Ahmad, 2/407 : “Mereka membaca dan mempelajari Kitabullah. Mereka saling belajar kepada yang lain.”

    Imam Asy-Syathibi, rahimahullah ta’ala (kitabnya al-I’tisham : 1/357-358) ia mengatakan :
    Adapun membaca Al-Qur’an secara berjama’ah dengan satu suara, tidak masuk kedalam makna hadits diatas, dan perbuatan seperti itu termasuk bid’ah. Perbuatan seperti ini juga di ingkari Imam Malik , rahimahullah ta’ala sebagaimana tersebut dalam At Tibyan, karya Imam Nawawi.
    Misalnya syari’at menganjurkan dzikir. Lalu ada sebagian orang sengaja berkumpul untuk berdzikir (Dzikir berjama’ah) dengan satu suara ( disuarakan bersama-sama ) atau dilakukan pada waktu-waktu tertentu atau waktu khusus. Sementara tidak ada syari’at yang menunjukan waktu tertentu .

    Kecuali pengkhususannya yang telah ditetapkan oleh dalil , seperti Dzikir pagi dan petang dan tidak mengeraskan suaranya. Dan kecuali yang dianjurkan oleh syari’at , seperti takbir pada dua hari raya ( Idul Fitri dan
    Idul Adha ) dan sejenisnya. Adapun selain itu mereka selalu menyembunyikannya.

    Al Hafizh Ibnu Abdil Hadi, rahimahullah ta’ala (kitabnya Ash-Shaarimul Munki : 427) ia berkata : tidak boleh mengada-adakan takwil terhadap sebuah ayat atau sunnah (hadits) yang tidak ada pada masa Shalafush shalih, tidak dikenal mereka dan tidak mereka jelaskan kepada umat. Oleh karena konsekuensinya adalah tuduhan mereka tidak tahu kebenaran dan sesat dalam masalah tersebut. Lantas orang yang datang inilah yang mengetahuinya.

    Al-Imam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, rahimahullah ta’ala menyebutkan tentang keutamaan ini secara ringkas dalam ( baca kitab Majmu’ Fatawa,15/19-20 ).
    Adalah sbb :
    1. Imam lebih besar, karena orang yang berdo’a dengan suara pelan mengetahui bahwa Allah mendengar do’a pelan.
    2. Lebih besar dalam adab dan pengangungannya, Karena jika Allah mendengar suara pelan, maka tidak layak memohon kepadaNya, kecuali dengan suara pelan.
    3. Lebih mendalam dalam hal merendahkan diri dan kekhuyu’an.
    4. Lebih mendalam dalam hal keikhlasan.
    5. Lebih mendalam mengkonsentrasikan hati pada saat merendahkan diri dalam berdo’a, hal ini menunjukan kedekatannya kepada Allah.
    6. Lebih mendorong kepada terus menerusnya permintaan, karena tidak cepat bosan dan lelah.
    7. Lebih jauh dari gangguan.
    8. Lebih menyelamatkan dari orang-orang yang hasad.

    Oleh karena itu jika seseorang mengeraskan do’a, maka akan mengakibatkan hilangnya keutamaan dan faedah diatas. Maka dari itu tidak ada keraguan do’a dengan suara keras yang dilakukan oleh satu jama’ah dengan bersama-sama sangat menghilangkan kebaikan dan

    faedahnya. Orang-orang “Salaf” semoga Allah merahmati mereka – menganggap hal berdo’a seperti dijelaskan diatas merupakan membuat perkara yang baru dalam Agama dan keluar dari jalan penghulu para rasul. (baca kitab Fiqhul Ad’iyah Wal Adzkar,2/83 karya Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin Al-Badr).

    Dahulu umat Islam ( para sahabat,ra ) bersungguh-sungguh dalam berdo’a, namun tidaklah terdengar suara mereka. Do’a mereka adalah bisikan antara mereka dengan Rabb mereka. Hal ini karena Allah ta’ala berfirman :

    “Berdo’alah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.”
    (QS. Al-A’raf :55)

    Dan karena Allah telah menyebutkan hambaNya yang shalih, Dia ridha terhadap perbuatannya, Dia berfirman :

    “yaitu tatkala ia (nabi Zakaria, as) berdo’a kepada Rabbnya dengan suara yang lembut.” (QS. Maryam : 3 ).

    B A B – II
    HUKUM BERKUMPUL UNTUK BERDZIKIR ATAU BERDO’A DAN MENGERASKAN SUARA, BILAKAH HAL ITU DIANGGAP BID’AH ?”

    Imam Ahmad ditanya tentang seorang lelaki duduk dalam majlis bersama sekelompok orang, lalu yang ini berdo’a dan yang itu berdo’a lalu mereka berkata : “berdo’alah engkau !”
    Imam Ahmad berkata, “Aku tidak tahu, amalan macam apakah itu?!”
    Ibnu Manshur berkata kepada Imam Ahmad : “Makruhkan satu kaum berkumpul untuk berdo’a dan mengangkat tangan mereka?” Beliau menjawab, “Aku tidak menganggapnya makruh jika tidak dilakukan dengan sengaja, kecuali bila jumlah mereka terus bertambah banyak.

  4. Apabila kita melakukan ibadah secara terbaik dan bersungguh ini bermakna kita berusaha untuk menempatkan diri kita dikalangan para sahabat nabi dan para tabi’in. Bagaimana untuk kita bersama-sama mereka? iaitu mengikuti apa sahaja yang Rasul lakukan semasa hayatnya.. kemungkinan kita ada yang berkata “apa yang nabi tak larang tak semestinya haram atau berdosa” tapi kita kena fikirkan jika perbuatan tersebut dilakukan semasa hayat nabi (ketika nabi masih hidup) dan ianya tidak dilarang oleh baginda maka perbuatan tersebut sudah tentu tidak bersalahan. Namun jika sesuatu perbuatan ibadah itu yang nabi tidak lakukan dan ianya dilakukan kemudian selepas kewafatan nabi, apakah jaminan kita untuk mengatakan cara itu betul?

    JIka kita terlajak memasuki sesebuah jalan, maka kita boleh reverse untuk ke jalan yang betul.. tetapi dalam hal ibadah ini jika kita mati dan cara kita esok kemungkinan diadili oleh Allah tidak betul, maka bolehkan kita kembali ke dunia ini untuk memperbetulkan semula? apakah kita boleh mengambil risiko sedemikian? tepuk dada, tanyalah iman…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *