By admin
Pada satu pagi ketika sedang berjalan jalan didepan rumah saya tercengang melihat seorang ibu pemulung yang memikul karung berisi barang yang dipungut dari tempat sampah sambil mengggedong anak bayinya yang baru berumur beberapa bulan. Bayi itu terlihat sehat dan badannya padat.
Saya tidak habis fikir bagaimana mungkin anak bayi yang dibawa berjalan dijalan yang panas berdebu dan keluar masuk tong sampah bisa tetap sehat seperti itu. Sementara anak yang kita jaga dengan hati hati sejak kecil ternyata berbadan ringkih dan sering sakit sakitan. Saya hanya berfikir mungkin itu karunia Allah, orang yang hidup susah dan paspasan hidupnya ,lebih sehat dari pada orang yang hidup berkecukupan.
Biaya berobat sekarang cukup mencekik leher. Jika simiskin yang hidupnya susah , kemudian sering sakit sakitan tentu orang tuanya kebingungan memikirkan biaya berobat yang tidak terjangkau.
Saya baru menemukan jawaban peristiwa ini ketika membaca Detik health , dari penelitian para ahli ternyata anak yang terlalu bersih dan selalu diawasi kebersihan badan dan lingkungannya memang punya kecenderungan untuk sering sakit setelah dewasa. Berikut saya sampaikan beberapa artikel tersebut yang saya kutip dari situs http://health.detik.com
Bayi yang Terlalu Bersih Justru Lebih Gampang Sakit
Putro Agus Harnowo – detikHealth
ilustrasi (foto: Thinkstock)
Jakarta, Bayi yang terlalu dijaga kebersihannya ternyata lebih rentan sakit ketika dewasa. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa paparan bakteri di awal kehidupan sangat penting bagi anak-anak agar tidak gampang terserang penyakit autoimun sepanjang hidupnya.
Temuan ini mendukung hipotesis bahwa bakteri diperlukan untuk membentuk sistem kekebalan tubuh yang sehat. Gaya hidup yang takut dan menghindari bakteri justru semakin meningkatkan risiko asma, alergi dan penyakit autoimun lainnya.
Sistem kekebalan tubuh merupakan garda terdepan dalam pertahanan terhadap kuman di sekitar tubuh. Kuman yang jahat dapat menyebabkan keracunan makanan, pilek dan berbagai penyakit lainnya. Namun sebagian besar kuman ini ternyata tidak berbahaya dan bahkan ada pula yang menyehatkan.
Untuk memerangi infeksi, sel kekebalan tubuh atau sel darah putih diprogram untuk mencari protein asing dari sel yang bukan berasal dari tubuh. Sayangnya, sel darah putih terkadang menganggap bagian-bagian dari sel tubuh sendiri sebagai benda asing dan menyerangnya. Gangguan semacam ini disebut penyakit autoimun. Alergi, asma dan kanker darah merupakan bentuk penyakit autoimun.
Dalam penelitian yang dipublikasikan di jurnal Science, para peneliti membandingkan tikus normal dengan tikus yang dibesarkan di tempat khusus yang bebas kuman. Peneliti kemudian mengukur kadar sel darah putih yang disebut sel invariant natural killer T (iNKT) di paru-paru dan usus kedua tikus.
Sel-sel iNKT melepaskan protein yang menyebabkan peradangan. Peradangan berperan penting dalam penyakit autoimun. Sel-sel iNKT diketahui aktif dalam paru-paru penderita penyakit asma dan dalam perut penderita ulcerative colitis atau radang usus besar.
“Di antara kedua tikus, perbedaan yang paling mencolok adalah kerentanan terhadap penyakit autoimun. Tikus yang bebas kuman jauh lebih rentan terserang penyakit dibandingkan tikus yang pernah terpapar kuman,” kata peneliti, Dennis Lee Kasper, dokter senior di Brigham and Women’s Hospital di Boston seperti dilansir LiveScience (Senin, 26/3/2012).
Ketika terkena bakteri biasa di kemudian hari, tikus bebas kuman bahkan masih memiliki sel iNKT yang berlimpah dalam paru-paru dan ususnya. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan sistem kekebalan tubuh pada periode awal kehidupan sangat penting dalam pembentukan sistem kekebalan tubuh yang tepat.
“Paparan terhadap bakteri di masa bayi penting untuk melindungi tubuh dari peradangan dan sel INKT. Tidak hanya untuk penyakit-penyakit yang disebutkan tadi, bisa jadi paparan tersebut juga dapat melindung anak dari diabetes tipe 1,” kata Axel Kornerup Hansen, profesor di Universitas Kopenhagen di Denmark yang tidak terlibat dalam penelitian.
Anak Perempuan Lebih Gampang Sakit Karena Terlalu Bersih
Linda Mayasari, – detikHealth
ilustrasi (foto: Thinkstock)
Anak perempuan biasanya lebih banyak menghabiskan waktu dengan bermain boneka di dalam rumah, sedangkan anak laki-laki lebih suka main sepak bola di lapangan bersama teman-temannya.
Kebiasaan bermain di area yang bersih tersebut ternyata membuat anak perempuan memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih lemah daripada anak laki-laki.
Menurut hipotesis kebersihan di negara barat, penyakit yang umumnya terjadi karena sistem kekebalan tubuh yang buruk termasuk asma, alergi, dan rheumatoid arthritis mungkin disebabkan oleh seseorang yang hidup di lingkungan yang terlalu bersih.
Sedangkan negara-negara bagian timur yang umumnya memiliki tingkat sanitasi yang masih buruk dan tingkat kebersihan yang lebih rendah, memiliki penduduk yang memiliki sistem imun yang kuat.
Jika seseorang telah beberapa kali terserang penyakit yang disebabkan oleh kuman, maka tubuh secara otomatis akan membentuk perlindungan.
Ketika kuman yang sama datang menyerang lagi, sistem imun tubuh telah akrab dengan kuman tersebut dan akan kebal terhadap penyakit.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Sharyn Clough, yang diterbitkan dalam jurnal Social Science and Medicine, menyatakan berdasarkan data mengenai hipotesis kebersihan, penyakit karena lemahnya kekebalan tubuh seseorang dapat disebabkan oleh perilaku masa kecilnya meliputi aspek-aspek perilaku dan psikologis.
“Anak perempuan cenderung berpakaian lebih bersih dan lebih suka bermain di dalam ruangan daripada anak laki-laki. Permainan anak perempuan juga lebih sering diawasi oleh orang tuanya,” kata Clough seperti dilansir dari health, Minggu (13/5/2012).
Sehingga ada perbedaan yang signifikan dalam jenis dan jumlah kuman pada anak perempuan dan anak laki-laki, dan ini mungkin menjelaskan beberapa perbedaan kesehatan antara pria dan wanita. Wanita cenderung lebih lemah dan mudah sakit dibanding pria.
Manusia Kini Hidup Terlalu Bersih, Tubuh Jadi Kurang Kebal
Merry Wahyuningsih – detikHealth
(Foto: thinkstock)
North Carolina, Seorang profesor biologi mengatakan hidup manusia kini terlalu bersih yang membuat sistem kekebalan tubuh mengalami disorientaasi. Akibatnya tubuh bereaksi berlebihan terhadap zat-zat sehari-hari yang sebenarnya tidak berbahaya, seperti debu rumah.
Rob Dunn, seorang profesor biologi terkemuka percaya masa depan yang sehat terletak pada apa yang dia sebut ‘kembali ke alam liar tubuh kita’. Dalam buku barunya, Prof Dunn mendorong pembacanya untuk mengadopsi pendekatan radikal ke ‘hipotesis kebersihan’.
Gagasan ini menunjukkan bahwa hidup kita telah menjadi terlalu bersih dan ini membuat sistem kekebalan tubuh menjadi rentan.
“Ini menyebabkan kenaikan dalam respons alergi yang serius seperti asma serta penyakit autoimun termasuk penyakit Crohn (radang usus kronis) dan rheumatoid arthritis,” jelas Prof Rob Dunn dari North Carolina State University, seperti dilansir Dailymail, Selasa (26/7/2011).
Prof Dunn menunjukkan beberapa bukti penelitian yang mendukung hipotesis kebersihannya. Dalam sebuah studi terhadap 1.400 anak-anak awal tahun ini, para peneliti di Yale University AS, menemukan bayi yang menerima antibiotik memiliki risiko 70 persen lebih tinggi menderita asma pada masa kanak-kanak.
Risiko asma ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa antibiotik menghilangkan bakteri secara sangat luas, baik bakteri baik maupun bakteri jahat dalam tubuh bayi. Hal ini akhirnya dapat menghalangi sistem kekebalan tubuh bayi yang belum matang dari patokan sehat.
Menurut Prof Dunn, sebelum penggunaan antibiotik dan hidup dalam lingkungan yang sangat bersih, kekebalan tubuh manusia bisa digunakan untuk bakteri dan belajar mengabaikan ancaman yang tidak berbahaya.
Namun, ketika tubuh tumbuh dan berkembang di lingkungan yang sangat higienis, sistem kekebalan tubuh dapat bereaksi secara berlebihan terhadap provokator kecil, seperti bakteri tingkat rendah yang tidak berbahaya.
“Kita harus meyakinkan tubuh kita bahwa mereka masih dalam keadaan alami seperti nenek moyang kita yang menjelajahi hutan yang banyak kuman dan tinggal di gubuk-gubuk tidak sehat. Kita dapat melakukan ini dengan memiliki cacing hidup di usus kita,” jelas Prof Dunn.
Usulan memiliki cacing di usus, meski kedengarannya aneh dan menjijikkan, tapi ilmuwan di seluruh dunia mengambil ide ini sangat serius.
Argumen Profesor Dunn terinspirasi oleh Joel Weinstock, seorang peneliti medis di Tufts University, AS, yang melihat negara di mana Crohn menjadi umum di tempat-tempat yang diketahui cacingan telah menjadi langka.
Weinstock melakukan tes yang hasilnya menunjukkan bahwa ketika ia menempatkan cacing parasit di dalam sistem percernaan tikus, hal tersebut bisa menghentikan tikus mengalami penyakit iritasi usus besar.
Weinstock juga mencobanya pada 29 manusia yang menderita Crohn pada tahun 1999. Setiap orang diberi segelas telur cacing cambuk, yang biasanya hidup dalam usus babi.
Meskipun strain cacing ini tidak akan mampu berkembang biak dalam tubuh manusia, tetapi Weinstock berharap hal ini bisa mendorong tubuh manusia untuk merespons kehadiran parasit ini.
Hasilnya setelah 4 minggu kemudian, semua pasien kecuali 1 orang mendapatkan hasil yang lebih baik dan 21 diantaranya berada pada tahap pemulihan. Sejak itu, penelitian lain telah menemukan bahwa ketika diobati dengan cacing, orang dengan penyakit radang usus dapat membaik dan tikus diabetes dapat kembali normal tingkat glukosa darahnya.
Satu teori bahwa selama ribuan tahun evolusi, sistem kekebalan tubuh manusia terbiasa dengan cacing. Jadi jika seseorang membuatnya keluar dari tubuh, sistem kekebalan tubuh berjalan liar karena tidak ada yang bekerja melawannya.
Teori lain adalah bahwa cacing parasit dalam usus dapat menghasilkan senyawa yang menekan sistem kekebalan tubuh. Ini mungkin membuat tubuh berevolusi untuk bergantung setidaknya pada tingkat rendah senyawa cacing yang dihasilkan untuk menjaga mereka berjalan dalam batas normal.
(Sumber http://health.detik.com )