new-age-1

Gerakan New Age terus berkembang dengan subur di Indonesia. Kurangnya pengetahuan tentang bahaya Gerakan New age  , menyebabkan banyak umat Islam yang mengikuti kegiatan dan pelatihan yang diadakan kelompok New Age tanpa menyadari bahaya yang mengancam akidah mereka.

Untuk lebih memahami Gerakan New Age dan bahayanya bagi akidah umat Islam berikut ini kami sampaikan dua artikel tentang New Age Movement yang kami copy dari “Sabili.co.id”.


Ketika Gerakan New Age Tumbuh Subur

Adhes Satria

Yang harus diwaspadai umat Islam adalah jangan terpesona dengan kemasan kata-kata yang terkesan indah dan sejuk

Ketenangan batin kini menjadi barang yang mahal. Upaya menemukan jatidiri, mendorongnya untuk menelusuri komunitas-komunitas spiritual lintas agama. Tapi yang didapat hanya ketenangan semu, bahkan tertipu.

Kegundahan, cemas, gamang, tak punya pegangan hidup. Itulah yang dirasakan manusia modern dewasa ini, tatkala problematika hidup yang melilitnya terus membelenggu jiwa dan fikirannya. Karir, materi yang berlimpah, tak membuatnya menjadi happy. Yang dirasakan hanyalah kesempitan yang terus menghantui. Harapan menemukan jalan keluar, dilakukan dengan berbagai cara untuk menghantarkan ketenangan batinnya, dengan jalan menyusuri komunitas-komunitas spiritual.

Ya, itulah yang dirasakan Elizabeth Gilbert (31), seorang wanita Amerika modern dan punya karir bagus, mencari cinta dan kedamaian spiritual hingga menembus tiga negara (Italia, India dan Indonesia). Semua barang miliknya ia lego, bahkan ia tinggalkan pekerjaannya untuk melakukan perjalanan keliling dunia seorang diri. Kenekatan itu dilakukan, setelah ia mengalami  depresi berat dan kehilangan pegangan akan arah hidupnya, karena bercerai dengan suaminya.

Di Italia, ia belajar seni menikmati hidup, merajut kegembiraan dengan menambah berat badannya sebanyak dua puluh tiga pound. Empat bulan kemudian ia kunjungi India dengan menyambangi sebuah Ashram (kuil Hindu lengkap dengan asrama) dan mendapat bimbingan dari sang guru. Setiap hari ia beryoga, sembahyang, bermeditasi hingga berjam-jam dari pagi hingga malam, semua itu demi ketenangan batinnya.


Pencarian berakhir di Indonesia. Di Bali Elizabeth merasa telah menemukan tujuan hidupnya: keseimbangan, yakni sebuah jalan bagaimana membangun hidup antara yang kegembiraan duniawi dan kebahagiaan surgawi. Perjalanan mencari ketenangan spiritual itulah yang ia tulis menjadi sebuah buku berjudul ”Eat, Pray, Love” yang kemudian menjadi Best Seller, bahkan telah diangkat ke layar lebar.

Kisah kegamangan jiwa seorang Elizabeth, juga dirasakan penulis novel best seller ”Supernova” Dewi Lestari yang terus melakukan pencarian sebagai petualang spiritual. Dari Katolik berpindah ke Budha, entah  apalagi.

”Saya sudah melakukan perenungan-perenungan, bahkan sampai pada titik yang cukup ekstrim. Saking hausnya, saya bisa membaca tiga buku dalam satu hari. Ketika itu saya berusaha memahami semua agama,” ujarnya di sebuah situs. Tapi apa hasil pencarian dan perenungan dari seorang Dewi Lestari? Ia  menyimpulkan, bahwa semua agama adalah sama.

Mereka yang memiliki problem yang sama dengan persoalan ketenangan batin, tak sedikit yang terdampar dan berkubang di komunitas-komunitas spiritual, seperti komunitas Anand Krisna, Lia Eden, Baha’i, Sai Baba dan aliran kebatinan lainnya. Di komunitas lintas agama inilah, mereka melakukan ritual, seperti yoga, meditasi yang menyerupai peribadatan agama lain. Bahkan, mereka merasakan adanya persaudaraan di dalam komunitasnya.

Menurut Abdul M Naharong, seorang pengamat sosial keagamaan, yang paling mirip dengan fenomena New Age adalah Anand Krishna. Orang-orang yang mengikuti meditasi di padepokannya adalah mereka yang mempunyai latar belakang agama yang bermacam-macam, seperti Islam, Kristen, Katolik, Buddha, dan sebagainya. Ajaran-ajaran Anand yang disebarkan melalui buku-buku dan ceramah-ceramahnya, kerap mengatakan, bahwa semua agama adalah jalan yang benar menuju Tuhan, aku adalah Tuhan dan Tuhan adalah aku.

Kegemarannya terhadap paham reinkarnasi, mengingatkan kita kepada paham-paham yang dianut oleh New Age di Barat. Jadi walaupun belum ada data resmi, tetapi gejala agama dan spiritualitas gado-gado, yang ditopang oleh sikap “tourist of religion” terus berkembang.

Tauhid dan Syirik Bercampur

Menurut peneliti aliran sesat Ustadz Hartono Ahmad Jaiz saat ditemui SABILI di kediamannya, belakangan ini ada upaya untuk penyatuan agama. Meski  mengaku bukan Islam, tapi mencampuradukkan dengan Islam, Kristen dan Yahudi.

”Setelah Baha’i berkembang di California AS, Iran dan Israel, kemudian tahun 1960-an muncul New Age, sejenis aliran kebatinan dan spiritual yang  merupakan agama baru juga. Bukan hanya Baha’i, Ahmadiah Qadiani juga termasuk agama baru. Untuk Indonesia diwakili oleh Lia Eden. Komunitas itu bisa disebut sebagai komunitas kebatinan,” ujar Hartono.

Biasanya, yang menjadi ciri umum dari kebatinan, lanjut Hartono, adalah mencampuradukkan dan memaknakan sesuatu dengan mengikuti selera mereka.
Adalah Dr Annie W Besant, kaki tangan Freemasonry dari Inggris yang bekerja untuk gerakan Theosofi, telah merumuskan empat tujuan utama, yakni: Kesatuan Tuhan (the unity of God). Ajaran mendasar dari konsep ini adalah kebenaran agama universal.

Kedua, inkarnasi Tuhan dalam trinitas (the trinity of manifested God). Ajaran ini mengajak manusia mempelajari perbandingan agama-agama, filsafat dan ilmu pengetahuan.

Ketiga, tingkatan wujud (the hierarchy of being).

Keempat, persaudaraan universal kemanusiaan (universal brotherhood), tanpa membeda-bedakan ras (bangsa), kepercayaan, jenis kelamin, kasta ataupun warna kulit.

Dengan propaganda ”mempersatukan dan menghapus pemisah antar manusia” inilah yang kemudian berkembang doktrin ”semua agama sama”. Atau semua agama benar, karena merupakan jalan yang sama-sama sah untuk menuju Tuhan yang satu. Siapapun Tuhannya tidak begitu penting. Ingat, inti dari misi Freemason adalah memisahkan manusia dari agama. Atau beragama tanpa harus menjalankan syariat. Gerakan inilah yang kemudian disebut New Age Movement (Gerakan Era Baru), berusaha memadukan antara nilai-nilai Barat dan Timur, lewat jalan menggali dan mempelajari apa yang mereka sebut sebagai the ancient wisdom, kearifan masa lalu atau hikmah kuno. Hingga saat ini, gerakan New Age terus berkembang di berbagai negara.

Menurut Artawijaya, penulis buku “Gerakan Theosofi di Indonesia”, semangat fraternity (persaudaraan universal), yang terbungkus dalam beragam jargon halus tentang kemanusiaan, persamaan semua agama (equality), kesatuan hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan, kesetaraan, kebebasan (liberty) tak lebih adalah lelucon kaum Yahudi.

Kehadiran spiritual kebatinan tentu menjadi berbeda dengan agama. Acuan agama bukanlah hasil pikir dan perenungan manusia, melainkan wahyu. Sedangkan materi kebatinan merupakan kreasi manusia belaka, yang mencampuradukkan beberapa kepercayaan, mulai dari kepercayaan animisme dan dinamisme zaman prasejarah, ajaran-ajaran dewa dan kepercayaan-kepercayaan kuno, teknik-teknik yoga, mistik, tasawuf, filsafat, psikologi bahkan sampai kultus-kultus individu terhadap pemimpin atau pendiri pertama aliran-aliran tertentu.

Kebanyakan aliran kebatinan memang kerap mensitir keterangan agama, tetapi bukan sebagai patokan dasar, melainkan sebagai hiasan penarik, pemanis kata untuk memperkuat ajaran-ajaran kebatinan. Mereka pun berkedok pengobatan, pelayan masyarakat, berkedok NKRI dan toleransi, dan ingin mengembalikan keyakinan nenek moyang atau yang disebut dengan kearifan lokal masa lalu. Atas nama HAM dan kebebasan, mereka campuradukkan agama-agama yang berujung pada pluralisme agama, bahkan lebih fatal lagi: merusak dan menghilangkan semua agama yang ada.

”Jika kelompok liberal melalui pintu menyamakan semua agama, sedangkan gerakan New Age ingin menghilangkan semua agama,” kata Hartono.

Ingat, Kongres Zionisme tahun 1903, Theodore Herzl mengajak para anggota Mason yang hadir untuk bersatu memerangi agama-agama yang ada. Ujung-ujungnya adalah membangun tata dunia baru The New World Order di bawah kendali Zionis Internasional.

Ihwal paham pluralisme agama, seorang Pendeta Dr.Stefri I. Lumintang menyatakan, Theologia abu-abu (pluralisme) ibarat serigala berbulu domba, seolah-olah menawarkan teologi yang sempurna. Padahal sesungguhnya pluralisme sedang menawarkan agama baru. Sedangkan Frans Magnis Susesno mengatakan, pluralisme agama itu sesuai dengan ”semangat zaman”. Ia merupakan filsafat pencerahan 300 tahun lalu dan pada hakikatnya kembali ke pandangan Kant (pakar metafisika asal Jerman) tentang agama sebagai lembaga moral. Tapi kemudian diperkaya oleh aliran-aliran New Age yang berlainan dengan pencerahan, yang sangat terbuka terhadap segala macam dimensi metafisik, kosmis, holistik, mistik dan sebagainya. Paham pluraslisme agama sendiri telah ditolak Gereja Katolik.

Kesesatan Masa Lalu

Ketika ”kearifan lokal masa lalu” dibela kelompok liberal dengan dalih melestarikan tradisi dan budaya nenek moyang, maka berkembangbiak-lah berbagai macam aliran kepercayaan dan kebatinan di negeri ini. Di Indonesia, ada ratusan aliran kebatinan dan kepercayaan, sebut saja seperti: Kepercayaan Paguyuban Sumarah, Subud (Susila Budhi Darma), Sapto Darmo, Ajaran Bratakesawa, Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu), Kebatinan Paryana Surya Dipura, Ajaran Pransuh, Adam Makrifat, Adari, Patuntung, Toani Tolotang dan sebagainya.

Kemudian beberapa aliran kebatinan lain: Aliran Kawula Wargi Naluri, Aliran Kebatinan Islam Modern, Aliran Islam Mahekok, Islam Waktu Telu,  Martabat Tujuh, Gatoloco dan Darmogandul, Shalat Daim, Manunggal Kawula Gusti dan seterusnya. Semua aliran kepercayaan dan kebatinan yang ada itu dibiarkan hidup dengan acuan Universal Declaration of Human Rights (Pernyataan Universal tentang HAM).

Belakangan aliran kepercayaan dan kebatinan menghendaki pengakuan, seperti halnya pemerintah mengakui Konghucu. Mereka bahkan berencana kembali menggugat UU Penodaan Agama yang telah ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).

”Di zaman Soeharto saja aliran kepercayaan tidak diakui sebagai agama. Jika diagamakan, nanti New Age, Lia Eden bisa masuk jadi agama. Ini bukan persoalan menjegal NKRI atau bukan, tapi ini soal akidah yang harus dibentengi. Apakah untuk bersatu, harus mengakui semua yang batil, seperti komunis, kan tidak. Jadi harus ada landasan yang benar,” tukas Hartono.

Yang harus diwaspadai umat Islam adalah jangan terpesona dengan kemasan kata-kata yang terkesan indah dan sejuk. Sai Baba misalnya, pernah menyatakan, bahwa ia tidak pernah membuat agama. Ia datang untuk memberitahu manusia tentang kesatuan iman, prinsip spiritual, dan cinta. ”Aku datang bukan untuk mengganggu atau menghancurkan keyakinan apapun, tetapi untuk menguatkan keyakinan mereka, sehingga menjadi seorang Kristiani, Muslim, Hindu, dan Budhis yang lebih baik.”Inilah wujud Dajjal di akhir zaman yang hendak mengubah racun menjadi madu, kebatilan dipandang indah, Neraka dikira Surga.

Para pendusta itu jelas-jelas membuat agama baru dengan menghilangkan syariat, mencampuradukan   yang hak dengan yang batil. Padahal yang batil harus musnah, diberantas hingga akar-akarnya. Semoga kita tak terpedaya olehnya.

(Adhes Satria, Majalah Sabili Edisi 01/XVIII – Sumber Sabili.co.id)

Gerakan New Age: Bahaya Agama Gado-Gado

Dwi Hardianto

gerakan_new_age

Mereka hanya mengasembling dan mencampur aduk sebagian ajaran agama atau spiritual sesuai kebutuhan. Mereka juga disebut tourist of religion dan berujung pada paham pluralisme agama (menyamakan semua agama).

Seorang warga Amerika Serikat (AS) yang berumur 26 tahun ketika ditanya tentang agamanya tanpa ragu menyebut sebagai Methodist, Taoist Native, American Quaker, Russian Orthodox, Buddhist, and Jew. Ia menjelaskan, sejak kecil dibesarkan dalam lingkungan Methodist dan pergi ke gereja hampir tiap hari Ahad.

Mengikuti acara keagamaan di Synagogue dengan temannya secara teratur. Mengikuti pertemuan Quaker di College. Dibaptis oleh gereja Orthodox saat berkunjung ke Rusia. Melakukan meditasi agama Budha dan berpartisipasi tiap bulan dalam upacara sweat lodge orang Indian.

Itulah hasil studi tentang spiritualitas orang Amerika yang dikutip Robert Wuthnow dalam artikel berjudul “A Reasonable Role for Religion? Moral Practices, Civic Participation, and Market Behavior” (1998). Pada kutub lain, ada juga masyarakat AS yang tidak percaya lagi pada institusi agama formal (a growing distrust of organized religion), yang sebenarnya ditujukan pada Kristen. Ekstremnya, seperti dislogankan futurolog John Naisbitt  dan istrinya, Patricia Aburdene, dalam Megatrend 2000: “Spirituality Yes, Organized Religion No.”

Jadi, ada arus penolakan terhadap agama formal sambil mencari spiritual baru lintas agama tanpa harus terikat dengan aturan, tata cara, dogma, ajaran, atau syariah agama tertentu. Menurut pengamat sosial keagamaan Abdul M Naharong dalam artikelnya “Agama dan Spiritualitas Gado-Gado” menyebutkan, gejala ini muncul sejak pemerintah AS menghapus kuota imigran Asia pada 1965, sehingga guru-guru spiritual dari Asia banyak berimigrasi ke negeri itu.

Akibatnya, berpengaruh besar pada perkembangan agama, sekte, cult, dan aliran spiritual di AS yang berbasis lintas agama. Apalagi, penerjemahan kitab suci, teks esoteric, ajaran spiritualitas dari berbagai macam agama dan kepercayaan ke dalam bahasa Inggris juga marak. Dengan berkembangnya mentalitas konsumtif (consumer mentality) dan do it yourself culture masyarakat Amerika, mereka pun mempelajari sendiri sekaligus mempraktikkan satu, atau beberapa agama, atau ajaran spiritual secara bersamaan.

Empat tahun lalu (2006) ketika pemerintah AS mengadakan sensus penduduk secara resmi, Amerika sudah memiliki 2.100 agama, sekte, aliran kepercayaan, kelompok spiritualitas, dan cult. Diprediksi, jumlah ini sekarang semakin bertambah.

Edward Shils dalam “Tradition” (1981) menulis, pada sebagian masyarakat Amerika, agama dan spiritualitas merupakan komoditas yang perlu dicoba. Satu atau beberapa agama atau beberapa latihan spiritual bisa tetap dipakai, “if it works,” tulis Edward. Jika tidak, orang seperti ini akan mencari kepercayaan,  praktik-praktik keagamaan, atau spiritual lain yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhannya.

Pendekatan instrumental seperti ini, lanjut Edward, membuat fungsi latent (terpendam) agama, seperti ketenangan batin dan kebahagian, menjadi fungsi manifest (nyata). Karena itu, semua aktivitas keagamaan dan spiritual harus dinilai dari bisa atau tidaknya memenuhi fungsi menenangkan batin dan menciptakan kebahagiaan “instant” yang langsung dirasakan oleh pelakunya.

Sikap seperti ini melahirkan trend baru dalam beragama, yakni “membuat” atau “mengasembling” agama atau spiritual sendiri sesuai dengan kebutuhan. Caranya, dengan mencampur aduk atau menggabungkan berbagai macam ajaran, ritual, kepercayaan, praktik, ritus, dan latihan spiritual dari berbagai sumber (agama, sekte, atau cult), tanpa bergabung pada salah satu sumber tersebut.

Bahkan, ada yang menjadi pengikut dua atau lebih agama, sekte, atau cult yang berbeda pada waktu yang sama, karena mereka meyakini paham pluralisme agama (menyamakan semua agama). Inilah yang oleh Abdul M Naharong disebut “agama gado-gado, “patiche spirituality”, “pick and mix spirituality”, alias “spiritualitas gado-gado”. Model religiusitas ini umumnya gandrung dan tergabung pada spiritualitas New Age, ada juga yang menyebut New Age Movement (Gerakan Era Baru), atau New Agers.

Ciri-Ciri Ajaran

Rais Syuriyah PBNU KH Saifuddin Amsir MA, Peneliti Aliran Sesat dari LPPI Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, dan Peneliti INSIS Nirwan Safrin PhD di tempat berbeda menyatakan pada SABILI bahwa ajaran atau kepercayaan New Age dicomot dari berbagai macam sumber (agama, sekte, kepercayaan, atau cult), diramu dan diracik sesuka mereka sesuai dengan kebutuhannya.

Bahkan, Abdul M Naharong menyebutkan, ajaran ketuhanan mereka ada yang bercorak pantheisme, yaitu Tuhan itu immanent (tetap ada) di dalam setiap atom dari alam semesta. Ada juga yang mirip aliran kebatinan Manunggaling Kawula Gusti, yaitu aku adalah Tuhan, Tuhan adalah aku. New Age juga mengambil ajaran karma dan reinkarnasi sebagai ajaran yang paling disenanginya. Ini karena, karma dan reinkarnasi menafikan atau mengingkari doktrin neraka dan surga serta kekekalan di dalamnya.

Karenanya, dalam usaha mereka memperoleh pengalaman transformasi, yang bersifat mistik maupun non-mistik, misalnya penyembuhan, New Age menggunakan berbagai teknik atau pelatihan, seperti meditasi dalam agama Budha, Yoga dalam agama Hindu, latihan pernapasan dalam kelompok tarikat Naqshabandi, dan lainnya. Teknik ini sering dipakai secara bersamaan. Jika salah satunya dianggap it doesn’t work karena tidak bisa memberikan hasil yang sesuai dengan keinginan mereka, teknik tersebut ditinggalkan dan beralih pada teknik lain.

Dalam pandangan Nirwan Safrin, ini menunjukkan bahwa mereka selalu mengalami kegelisahan yang tak berujung. Padahal, kebahagiaan dan ketenangan bisa diraih jika orang sampai pada keyakinan. Jika orang tidak yakin ia tidak akan bahagia dan tenang, ia akan selalu ragu, terus mencari tanpa henti, seperti penganut New Age ini. Mereka terus mencari metoda untuk mencapai spiritualitas yang mereka dambakan. Jika tidak cocok dengan sebuah metoda, akan mereka tinggalkan dan berganti dengan metoda lain, begitu seterusnya.

”Berarti mereka tidak pernah tenang dan bahagia. Sehingga, apa yang mereka klaim sebagai tingkat dan ketinggian spiritualitas itu tidak benar. Berbeda dengan Islam yang sudah jelas syariahnya dalam menggapai tingkat spiritualitas, tinggal kita mau menjalankannya atau tidak. Keyakinan berdasarkan syariah inilah yang membuat orang bahagia dan tenang. Inilah yang disebut keimanan. Contoh, orang beriman dan yakin bahwa Allah akan memberi rezeki, ia tidak akan gundah gulana jika rezeki yang diharapkan tak kunjung datang, karena Allah mempunyai berbagai cara dan dalam memberikan rezeki pada umatnya,” terang lulusan S3 Pemikiran Islam Arab ISTAC, Malaysia ini.

Ciri lain dari agama dan spiritualitas New Age adalah sifatnya yang experiential dan tidak dogmatis. Penganut agama dan spiritualitas gado-gado ini hanya menekankan aspek pengalaman dari berbagai ritus keagamaan dan latihan spiritual, dan tidak peduli pada dogma, aturan, tata cara, atau syariah yang terdapat di dalam berbagai agama.

Akibatnya, agama dan spiritualitas jenis ini hampir-hampir tidak mempunyai aturan, tata cara, atau pedoman baku seperti yang dikenal dalam agama formal (organized religion). Karenanya, dalam lingkungan seperti ini, tak jarang agama dan spiritualitas menjadi terapi, yang hanya berfungsi untuk membuat orang merasa senang apapun yang mereka lakukan. Sehingga, New Age tidak menuntun orang berbuat berdasarkan kaidah-kaidah moral yang diformalkan dalam bentuk ”syariah”.

Karenanya, penganut agama dan spiritualitas gado-gado tergolong ke dalam “tourist of religion”, meminjam istilah Wade Roof, dalam Spiritual Marketplace: Baby Boomers and the Remaking of American Religion (1999). Mereka percaya bahwa semua agama sama benar dan baiknya, karenanya mengambil dan mencampur berbagai (ajaran) agama dan pelatihan spiritual (eklektisisme dan sinkretisme) adalah hal wajar. Inilah ujung dari ajaran ini, meyakini paham pluralisme agama (menyamakan semua agama).

Agama Baru

Rais Syuriah PBNU KH Saifuddin Amsir MA menegaskan, New Age hanyalah pengulangan alias lagu lama yang sudah kesekian kalinya. Mereka  menyebut sebagai agama baru, religiusitas, atau spiritualitas, tanpa nabi, tanpa kitab suci, dan tanpa Tuhan, tapi mencampuradukan semua agama. Ini adalah agama yang dibuat oleh para filosof dengan membuat komunitas sendiri. Para filosof itu mengatakan, inilah agama baru dengan semboyannya God With Out God (Tuhan Tanpa Tuhan).

Persoalannya, lanjut Guru Besar UIN Syarif Hidyatullah ini, kita tidak memiliki lembaga khusus yang meneliti dan menangani masalah ini, padahal sudah beberapa kali mereka muncul. Kemunculan mereka, didasari oleh sikap mereka yang menganggap paling super di dunia bagaikan “Superman”. Dalam filsafatnya Red Neck disebutkan, adanya pemisahan antara moral budak dan moral iman. Selanjutnya, Neck menulis, jika ingin menjadi Tuhan maka harus membunuh Tuhan. ”Inilah salah satu dasar kesesatan agama yang sekarang berganti nama menjadi New Age ini,” tambahnya.

Soal penyebutan New Age sebagai agama baru juga disematkan oleh Ustadz Hartono Ahmad Jaiz. Menurutnya, belakangan ini ada upaya mencampuradukan semua agama. Setelah Baha’i berkembang di California, Iran, dan Israel, tahun 1960-an muncul New Age, sejenis aliran kebatinan dan spiritual yang merupakan agama baru juga.

Tapi menurut Peneliti INSIST Nirwan Safrin PhD, menyematkan New Age sebagai agama harus dijelaskan dalam pengertian yang tepat. Jika mendefinisikan agama dalam konsepsi Barat, maka New Age bisa disebut sebagai agama. Karena dalam konsepsi Barat, agama adalah ciptaan manusia, bagian dari culture (budaya), termasuk dalam ranah ilmu sosial, dan New Age juga termasuk dalam katagori culture karena diciptakan oleh manusia.

Tapi jika kita mendefinisikan agama dalam konsep Islam sebagai ad-Din, lanjut Nirwan, New Age bukan agama. Pasalnya, mereka hanya mencaplok sebagian dari berbagai nilai, ajaran, dan syariah agama. Yang jelas agama tidak mungkin dibuat oleh manusia.

”Konsepsi Islam jauh lebih komprehensif dari sekadar culture. Apalagi, Barat tidak memiliki terminologi yang pas dan tepat tentang agama. Dalam Bahasa Inggris disebut religius yang menjadi bagian dari culture. Makanya, buku agama dalam perpustakaan di Barat, masuk dalam katagori culture yang menjadi bagian dari Ilmu Sosial,” jelasnya.

Jumlah Pengikut

George Barna dalam The Index of Leading Spiritual Indicators (1996) memperkirakan, sekitar 20% orang dewasa Amerika adalah pengikut New Agers. Majalah Newsweek edisi 28 November 1994 menulis jumlah pengikut New Age di Amerika sangat fantastis, yakni mencapai 58% dari jumlah responden dalam suatu survei.

Russel Chandler, mantan jurnalis agama pada Los Angeles Times dalam “Understanding the New Age” (1988) mengklaim, 40% orang Amerika percaya pada panteisme (kepercayaan yang berprinsip pada all is God and God is all). 36% percaya pada astrologi sebagai scientific, yakni percaya astrologi sebagai metode peramalan masa depan (a method of foretelling the future). Dan, 25% percaya pada reinkarnasi.

Itulah sebagian temuan angka statistik pengikut New Age di AS. Bagaimana di Indonesia? Wallahu’alam.

(Dwi HardiantoTelaah Utama Majalah Sabili 01/XVIII – sumber Sabili.co.id)

One thought on “GERAKAN NEW AGE –AGAMA GADO GADO”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *